Oleh: Rahmat Umarama
Pegiat PILAS Institute
Seorang musafir, yang berasal dari sebuah desa terpencil tepatnya di Kabupaten Kepulauan Sula, (Desa Kabau). Sebuah desa yang sangat srategis tapi jauh dari keramain dunia. Ia (musafir) mulai menulis tentang kisahnya, ia khawatir akan dirinya di telan bumi tanpa meninggalkan sebuah catatan sejarah yang akan di kenang. Satu ketika, ia mulai gelisah dengan batinnya sembari berpikir dan berbicara melalui qolbunya, Tuhan apakah hamba diciptakan dalam keadaan kekosongan? Dan apakah hamba kembali dalam keadaan kekosongan pula Tuhan?

Pertanyaan itu menyiksa batinnya, hingga suatu ketika ia memutuskan berkelana menuju sebuah kota. Ia mengagumi perkembangan jaman dengan begitu takjub, gedung-gedung pencakar langit, mobil dan motor berjalan seakan mengejar satu sama lain. Rumah-rumah tersesun rapih, namun perkembangan teknologi menjadi iblis yang selalu merayu untuk tidak berpengetahuan.
Kota ini (Ternate) adalah kota pengetahuan, ia melahirkan begitu banyak generasi penerus peradaban sehingga kota ini disebut sebagai “kota gudang ilmu”. Ternate juga dikenal dengan kota lapar, lapar secara jasmani dan secara rohani.
Di kota ini, musafir memulai dan mengahiri karirnya. Ia meninggalkan kampung halaman dan berkelana di kota ini, walapun rindu memaksa qalbu untuk kembali pulang ke kampung halaman, sebab “Kampung halaman adalah surga bagi musafir yang berkelana mancari Tuhan”.
Di kota ini ia berusaha melawan hawanafsu, godaan, dan berbagai cobaan yang menggagalkan niatnya, namun kerap kali jatuh tapi hal itu bukanlah sebuah alasan bahwa ia harus mundur. Acapkali rasa kauf selalu menyiksa batinya, entah apa alasannya. Pada satu hari, ia menyadari bahwa rasa kauf itu hadir, karena sampai hari ini ia masih berada dalam keadaan kekosongan, seperti yang di katakan seorang filsuf eksistensialis, Jean Sarte, manusia lahir tanpa tujuan bawaan, tanpa “esensi” yang suda ditentukan dan justru bebas untuk menciptakan makna hidupnya sendiri.
Kebebasan bukan suatu yang mudah diambil tanpa beban, melainkan suatu beban besar kerena disetiap keputusan tidak hanya mendefinisikan kepada diri sendiri, melainkan ia harus mencerminkan bagi seluruh umat manusia.
Perkataan itu mulai menyiksa batinya, rasa takut muncul melawan pikiran dan qolbunya. Pada suatu malam, ia memutuskan berkunjung ke sebuah perpustakaan buku, ia melihat berbagai macam judul buku yang terusun rapih menghiasi dinding, kecantikan itu membuat ia takjub, seakan sebuah ruangan ini ibarat pintu yang membawa kita kepada peradaban baru.
“Kadang lucu juga, berdiri di depan rak buku serasa di depan pintu surga pengetahuan. Judul-judulnya memanggil, seakan berkata “bawalah aku pulang”. Tapi begitu tangan meraba dompet, langsung sadar kalau isinya cuma selembar sruk belanja dan koin receh, hati ingin berilmu, tapi realita berkata: “cukuplah kau membaca judul, sinopsis, dan kata pengantar”. Jadi, sementara ini biarlah aku membaca dari sinopsis, toh kadang sinopsis lebih murah dari kenyataan”, (Fahri Aufat, Direktur Pilas).
Bagi musafir, buku bukan hanya jendala pengetahuan, bukan hanya sebuah bacaan, namun buku adalah sebuah pengantar menuju roh jiwa, yang mampu membawa kita kepada Tuhan (Finnding God). Sebab hidup ini tak lama, maka manfaatkan ia dengan sebaik-baik mungkin (carpe diem). Namun jika anda tidak menahan lelahnya belajar, membaca buku, maka kamu akan diperhadapkan dengan kejamnya dunia di luar sana, (serambi Pilas Institute, Ko Pomat).
Ungkapan itu mengingatkan musafir kepada seorang tokoh islam, beliau pernah berkata, jika kau tak menahan lelahnya belajar, maka kau akan menanggung perihnya kebodohan, (Imam As-Syafi’i).
Bahkan ia sadar, ketika tidak mampu untuk melengkapi kekosongan itu, dengan lelahnya sebuah perjuangan keras, realitanya adalah kita sama seperti hewan lainnya. Buaya Hamka pernah berkata, kalau hidup sekedar hidup babi dihutan juga hidup.
Itulah pentingnya membaca sebab setiap kata adalah senjata, (Marcos). Itulah sebabnya ayat pertama yang turun adalah “IQRA,”. Di isyaratkan bacalah, membaca dunia, dan membaca fakta dan realita saat ini. Jaman sekarang manusia dituntut untuk bekerja, diperbudakkan, dan berlomba-lomba mencari kupon untuk makan untuk bertahan hidup. Jalan satu-satunya adalah terhindar dari hal tersebut, kita dituntut untuk cerdas yaitu cerdas dalam berpikir, bertindak, melawan sistem, dan mampu mengubah sistem.
Kritik itu sebuah seni yang harus di sampaikan. Sebab ia adalah perasaan dari jiwa dan pikiran, (Rahmat Umarama).
*Penulis Adalah Mahasiswa, Jurusan Sosiologi FISIP UMMU Ternate