Menu

Mode Gelap
Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink Polres Sula Bongkar Kasus Ayah Bejat Perkosa Anak Kandung

Cerpen

Tinta dari Keringat dan Air Mata

badge-check


Foto: Papa dan Mama. (doc: Istimewa) Perbesar

Foto: Papa dan Mama. (doc: Istimewa)

Persembahan untuk Papa dan Mama di Hari Buruh

Oleh: Safari Naipon

Setiap tanggal 1 Mei, dunia riuh dengan orasi, spanduk, dan seruan perjuangan. Hari Buruh, begitu mereka menyebutnya. Tapi bagiku, hari itu bukan milik para pembicara megah di panggung atau barisan demonstran di jalan.

Hari Buruh adalah milik dua sosok sederhana yang tak pernah masuk berita, tak pernah diberi medali, namun telah menanam cinta dan peluh di setiap jengkal tanah yang mereka pijak. Hari itu, adalah milik Papa dan Mama.

Kami tujuh bersaudara. Aku anak sulung. Ketika lulus dari SMK Negeri 1 Sanana tahun 2011, aku menyimpan mimpi besar: kuliah. Tapi mimpi itu harus kusimpan rapat-rapat.

Sore itu, Mama mendekatiku, suaranya lembut dan hati-hati.
“Maaf, Nak… tahun ini belum bisa lanjut kuliah ya. Papa dan Mama belum ada uang.”

Aku hanya diam, menatap langit yang mulai gelap. Di luar, teman-temanku sibuk mengemas koper, berangkat kuliah ke kota. Sementara aku, duduk diam, memendam rindu pada mimpi yang sempat tumbuh.

Setahun aku menganggur. Lalu tahun 2012, aku memberanikan diri bertanya lagi, “Ma, Pa… aku sudah bisa daftar kuliah?”

Mama mengangguk pelan, suaranya masih ragu, “Iya boleh, Nak… kalau memang sudah mantap.”

Aku bersikeras kuliah di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, di Ternate. Di balik kegamangan mereka, aku pergi membawa harapan. Bukan hanya milikku, tapi harapan satu keluarga.

Kuliah berjalan, namun hidup di kota tak semudah yang kubayangkan. Biaya membengkak, kebutuhan menghimpit. Papa mulai bekerja apa saja: memanjat kelapa, memetik cengkeh. Kadang hasilnya hanya dibagi dua dengan pemilik lahan. Tapi mereka terus berjuang, diam-diam.

Ada yang mencibir, “Anak petani? Mana bisa tamat kuliah?” Tapi Papa dan Mama tak pernah membalas. Mereka menjawab dengan peluh. Dengan diam yang keras kepala.

Sampai suatu hari, Papa menelepon.
“Nak, Papa mau ke Namlea. Ada kerja di Gunung Botak.”

Aku terdiam. Aku tahu: itu tambang. Berbahaya. Tapi Papa tetap pergi. Demi kami.

Ramadan datang. Aku pulang kampung, berharap bisa sahur dan berbuka bersama keluarga. Tapi Papa tak pulang.
“Ma, nanti Papa lebaran sama kita?”
Mama hanya menggeleng pelan, “Tak tahu, Nak…”

Lebaran tiba. Aku menggantikan Papa mengantar zakat ke masjid. Hatiku hancur saat pulang.

“Ma… kenapa Papa tak pulang?”
“Maaf, Nak… mungkin Papa lebih memilih mencari uang buat kalian daripada pulang.”

Aku kembali ke Ternate. Hidup terus berjalan. Suatu libur panjang, aku pulang. Kami tertawa, saling bercerita. Lalu tanpa sengaja, Papa membuka bajunya. Di bahunya ada luka.

“Papa… kenapa itu?”
“Ini bekas pikul tanah, Nak. Karung 25 kilo. Papa pikul demi kamu.”

Air mataku jatuh diam-diam.

Sementara Papa memikul karung di tambang, Mama juga tak diam. Ia mencari bia kodok (Kerang Lokan) di telaga, menjual sayur milik orang lain di pasar. Satu per satu rupiah mereka kumpulkan. Bukan untuk hidup mewah tapi untuk satu hal: agar anak-anak mereka bisa sekolah.

Suatu hari aku menelepon, “Ma, ada kegiatan kampus, Studi Tour ke Jogja. Biayanya lima juta.”
Mama diam.
“Maaf, Nak… kayaknya tak bisa. Uang sebanyak itu tak ada.”

Aku hanya mengangguk. Bukan karena kecewa, tapi karena aku tahu: mereka telah memberi lebih dari cukup.

Waktu berlalu. Papa kembali ke kampung, ke Kabau. Waktunya membayar kos. Beras habis. Semester belum dibayar. Telepon ke Mama tak tersambung. Aku panik.

Kemudian kudengar kabar: mereka sibuk mengurus pernikahan adikku.

Aku terdiam. Tapi aku paham: mereka berusaha adil. Bahkan dalam keadaan tak punya, mereka tetap berusaha membagi.

Tak lama, Mama menelepon, sambil menangis.
“Maaf, Nak. Mama dan Papa akan tetap usahakan uang kuliahmu. Kamu sabar ya…”

Seminggu kemudian, uang masuk.
“Ma, dari mana uangnya?”
“Itu urusan kami. Kamu kuliah saja yang benar. Buktikan pada mereka yang dulu bilang kamu tak akan bisa selesai.”

Dan saat itulah aku benar-benar sadar: Keringat dan air mata mereka adalah tinta yang menulis hidup kami.
Tinta yang tak luntur meski diterpa hujan.

Hari Buruh ini bukan milik serikat atau pejabat. Hari ini milik Papa dan Mama. Pekerja tanpa nama yang membangun masa depan dari tanah, luka, dan doa yang tak pernah henti.

Semoga cerita singkat ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap anak yang berhasil meraih mimpi, ada orang tua yang telah membayar semuanya dengan keringat, air mata, dan cinta yang tak ada batasnya.

Terima kasih, Pa. Terima kasih, Ma.
Bukan medali yang kalian cari,
cukup melihat kami berdiri,
dengan bangga menyebut kalian:
pahlawan sejati di rumah sendiri.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Malam 21 Ramadhan di JS Coffee: Ngopi Sambil Diskusi

21 Maret 2025 - 00:06 WIT

Malam 21 Ramadhan di JS Coffee: Ngopi Sambil Diskusi

Perasaan yang Terpendam

19 Januari 2025 - 17:31 WIT

Taman Wansosa Jadi Saksi

1 Januari 2025 - 07:53 WIT

Trending di Cerpen