Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

RUANG RINDU

badge-check


Foto: Fahri Aufat. (doc: istimewa) Perbesar

Foto: Fahri Aufat. (doc: istimewa)

(Renungan Rindu)
Oleh: Fahri Aufat
Pegiat PILAS Institute

RINDU adalah ruang. Sebuah ruang batin yang sunyi namun riuh, kosong namun penuh makna. Ia hidup di antara jeda pertemuan dan perpisahan. Seperti napas yang tertahan di dada—tak bisa dihela, tak bisa pula dilepas begitu saja. Dalam ruang itu, kita menyimpan semua yang pernah dekat namun kini menjauh: orang-orang, kenangan, bahkan versi diri kita yang dulu. Aku menyebutnya Ruang Rindu—tempat di mana rindu tinggal diam-diam, menyelinap di antara hari-hari yang tampak biasa, padahal sesungguhnya penuh gejolak.

Kata merindu adalah turunan dari rindu. Namun dalam konteks ini, ia juga bisa dimaknai sebagai ruang emosional yang kita ciptakan sendiri untuk menghidupi rasa yang belum selesai. Rindu bukan sekadar kehilangan seseorang yang pernah hadir, melainkan tentang bagaimana hati berusaha terhubung pada apa pun yang dulu membuatnya utuh—meski kini hanya tersisa bayangan. Seperti kata Rumi, “Yang kamu cari juga sedang mencarimu.” Rindu adalah gerak jiwa yang diam-diam kembali ke tempat yang pernah membuat kita merasa lengkap. Hanya saja, tidak semua yang kita cari akan kembali, dan tidak semua yang kita rindukan perlu digenggam lagi.

Dalam psikologi, rindu dipahami sebagai bentuk keterikatan emosional yang muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang bernilai tinggi secara afektif. John Bowlby, tokoh utama teori attachment, menjelaskan bahwa keterikatan adalah kebutuhan dasar manusia. Ketika ikatan itu renggang atau terputus, tubuh dan jiwa bereaksi—salah satunya lewat rindu. Maka, rindu bukan sekadar kerinduan biasa. Ia adalah manifestasi emosional yang dalam, cerminan dari ikatan kuat yang pernah terbentuk namun kini berubah bentuk—menjadi ruang yang hanya bisa dirasakan, bukan disentuh.

Namun, ruang rindu juga bisa menjelma labirin. Kita bisa tersesat jika terus berjalan mundur ke arah kenangan tanpa pernah menengok ke depan. Ada rindu yang sehat, ada pula yang menjerat. Rindu yang sehat mengajarkan makna mencintai dalam keikhlasan: bahwa tidak semua yang dicintai harus dimiliki. Sebaliknya, rindu yang menjerat membuat kita menolak realita, terjebak dalam ilusi masa lalu yang tak bisa diubah. Kita terus memutar ulang momen yang sudah pergi, berharap bisa kembali, padahal dalam diam perlahan kita kehilangan diri.

Di sinilah kita perlu belajar merawat rindu, bukan mematikannya. Sebab rindu adalah bagian dari kemanusiaan kita. Ia tidak harus dihapus, tapi harus ditempatkan. Rumi pernah menulis, “Jangan bersedih. Apa pun yang kamu hilangkan akan kembali kepadamu dalam bentuk lain.” Kita memang tidak bisa selalu memilih hasil dari setiap perpisahan, tetapi kita bisa memilih bagaimana cara mengelola ruang setelahnya. Rindu bisa menjelma puisi, doa, atau bahkan bahan bakar untuk tumbuh. Ia tidak selalu diselesaikan dengan pertemuan; kadang cukup dengan pemahaman dan penerimaan.

Ruang rindu adalah tempat kita belajar melepaskan. Bukan karena menyerah, melainkan karena ingin merdeka. Di dalamnya, kita boleh menangis, boleh mengingat, tapi juga harus berani melangkah. Sebab rindu yang terlalu lama disimpan bisa berubah menjadi beban—membuat langkah berat, pandangan kabur, dan hati tak lagi hadir di sini dan kini. Kita lupa bahwa hidup terus berjalan, dan masa depan pun pantas untuk dirindukan.

Akhirnya, Ruang Rindu adalah tempat kita berdamai. Dengan kenangan, dengan kehilangan, dan yang paling sulit—dengan diri sendiri. Bukan untuk menghapus rindu, melainkan memberi tempat yang pantas bagi rasa yang indah. Sebab mencintai tidak selalu harus memiliki, dan merindukan tidak selalu harus kembali. Kadang, rindu cukup dirasakan dalam hening, tanpa perlu disampaikan.

*Penulis adalah Pegiat PILAS Institute.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini