Oleh: Jandi Farid
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMMU
Tradisi dan budaya adalah dua hal yang saling berkaitan, namun memiliki perbedaan mendasar. Budaya mencakup keseluruhan sistem pemikiran, tindakan, dan karya manusia dalam interaksi sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sementara itu, tradisi merupakan bagian dari budaya dalam bentuk praktik atau kebiasaan yang dijalankan secara turun-temurun di komunitas tertentu. Sebagaimana ditegaskan Soerjono Soekanto, tradisi adalah tindakan yang dilakukan secara berulang dalam bentuk yang sama.

Di Provinsi Maluku Utara, tepatnya di Desa Malapat, Kecamatan Makian Barat, Kabupaten Halmahera Selatan, tradisi dan budaya masih menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Desa yang letaknya jauh dari pusat kecamatan dan kabupaten ini hanya bisa diakses melalui Kota Ternate.
Konon, masyarakat Malapat masih memegang erat adat dan budaya Togal. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Pemerintah desa maupun tokoh adat tampak kurang memberi perhatian, sehingga dikhawatirkan budaya Togal perlahan akan hilang tanpa disadari. Generasi muda tidak lagi menaruh minat untuk melanjutkan warisan budaya leluhur mereka. Hal ini sesuai pandangan R. Linton (1893–1953) yang menyebut budaya sebagai kumpulan perilaku yang dipelajari, di mana unsur-unsurnya didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat.
Seharusnya, pemerintah desa bersama tokoh adat menyediakan wadah dan sarana tradisional agar generasi muda bisa belajar menggunakan peralatan budaya seperti biola, gambus, tifa, suling, pakaian adat, hingga peran komentator dalam pesta Togal. Sayangnya, janji itu hingga kini tidak terwujud. Bahkan setiap kali pesta Togal digelar, warga kerap kesulitan mencari pembicara meskipun banyak anak muda yang ingin belajar. Ironisnya, sejumlah warga sebenarnya memiliki kemampuan untuk itu, namun tidak diberdayakan.
Waktu berjalan, anak-anak muda kini lebih tertarik pada alat modern dan media sosial dibandingkan melanjutkan tradisi Togal. Inilah tantangan terbesar bagi pemerintah desa dan tokoh adat.
Salah satu tradisi yang masih dipertahankan di Malapat adalah Tobo-Tobo Safar atau yang dikenal dengan sebutan Malapat Pangge Pulang. Tradisi yang digelar setiap awal bulan Safar ini menjadi ajang mempererat silaturahmi, terutama bagi warga Malapat yang merantau. Namun, pelaksanaan tradisi ini pun kini menghadapi kendala. Menjelang waktunya, persiapan belum juga dilakukan, padahal desa tetangga sudah memulainya sebulan lebih awal. Pertanyaannya, mengapa pemerintah desa Malapat belum mengambil langkah serupa?
Kondisi ini cukup memprihatinkan. Pemerintah desa seakan tidak peduli, sementara generasi muda juga kurang inisiatif. Padahal, menurut Koentjaraningrat, budaya adalah keseluruhan sistem ide, perilaku, dan hasil karya manusia dalam kehidupan sosial yang diperoleh melalui proses belajar. Maka, sudah sepatutnya generasi muda Desa Malapat berkomitmen untuk mempelajari dan melestarikan tradisi serta budaya mereka, agar warisan nenek moyang tidak punah begitu saja.
Sebagai generasi penerus, anak-anak muda Malapat harus menjaga dan menghidupkan kembali tradisi, terutama budaya Togal, yang menjadi identitas desa mereka.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate.