“Puskesmas Lede: “Ketika Jalan Terjal Menjadi Saksi Jejak Pengabdian Nakes di Pelosok Negeri Kepulauan yang Terpinggirkan”
Oleh: Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH
Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kabupaten Pulau Taliabu

Musibah yang menimpa tenaga kesehatan Puskesmas Lede pada Sabtu, 13 September 2025, bukan sekadar kisah kecelakaan lalu lintas di sebuah jalan menanjak Dusun Fangu, Desa Tolong. Ia adalah cermin buram dari wajah pelayanan kesehatan di daerah kepualaun yang tertinggal, sekaligus pengingat betapa masih timpangnya perhatian negara terhadap pejuang kesehatan di garis depan.
Kendaraan puskesmas keliling yang terguling itu tidak hanya membawa luka pada tubuh para tenaga kesehatan, tetapi juga menyimpan luka struktural: tentang bagaimana daerah kepulauan yang terpencil masih dipinggirkan dalam arus besar pembangunan.
Keadilan yang Jauh dari Seimbang
Dalam teori pembangunan, Amartya Sen menekankan pentingnya capability approach (baca: Development as Freedom, 1999), pembangunan seharusnya memperluas kemampuan dasar manusia untuk hidup sehat, berpendidikan, dan bermartabat. Tetapi, bagaimana mungkin kemampuan dasar itu tercapai jika akses kesehatan di pelosok masih bertumpu pada beberapa tenaga kesehatan yang harus mempertaruhkan nyawa demi sampai ke dusun terpencil?
Ketika pejabat di kota besar menikmati kesejahteraan dengan tunjangan melambung tinggi, para tenaga kesehatan di lapangan harus berjuang dengan fasilitas terbatas, jalanan yang rusak, transportasi seadanya, dan jaminan keselamatan kerja yang minim. Kesenjangan ini jelas menunjukkan bahwa pembangunan kita belum berpihak secara adil. Padahal, konstitusi kita telah dengan jelas menegaskan. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, memperoleh pelayanan kesehatan, dan mendapatkan lingkungan yang baik. Bahkan lebih tegas lagi, Pasal 34 ayat (3) menugaskan negara untuk bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak. Prinsip ini selaras dengan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Artinya, negara punya kewajiban moral sekaligus konstitusional untuk memastikan bahwa para tenaga kesehatan tidak dibiarkan berjuang sendirian di tengah keterbatasan. Keadilan sosial tidak boleh berhenti di kota besar, sementara di pulau-pulau kecil masyarakat dan tenaga kesehatan sama-sama dibiarkan bergulat dengan nasib.
Daerah Kepulauan: Ruang yang Terlupakan
Negeri ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Namun ironisnya, pembangunan kesehatan lebih sering terpusat di daratan utama dan kota besar. Daerah kepulauan yang sulit dijangkau, seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku – Maluku Utara, hingga Papua, sering kali tidak masuk prioritas. Padahal, warga di pulau-pulau kecil memiliki hak yang sama untuk sehat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Kecelakaan di Puskesmas Lede seakan menjadi simbol bagaimana para tenaga kesehatan harus menembus keterbatasan infrastruktur demi sebuah pelayanan dasar. Mereka bukan sekadar tenaga medis; mereka adalah jembatan harapan bagi masyarakat yang bahkan untuk membeli obat sederhana pun sulit karena jarak dan biaya.
Kesejahteraan yang Terbalik
Ketimpangan kesejahteraan menjadi isu serius. Gaji dan insentif tenaga kesehatan di daerah terpencil kerap jauh dari layak. Banyak yang harus rela bekerja dengan honor minim, sementara di pusat pemerintahan, anggaran untuk pejabat sering kali mengalir deras.
Jika menggunakan perspektif teori justice as fairness John Rawls (baca: Justice as Fairness: A Restatement, 2001). jelas negara telah gagal memenuhi prinsip pertama keadilan: bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dasar yang sama, termasuk hak kesehatan. Dan lebih dari itu, prinsip kedua yang menekankan distribusi keuntungan sosial-ekonomi untuk kelompok yang paling lemah juga tampak diabaikan. Para tenaga kesehatan yang berjuang di pelosok justru ditempatkan dalam posisi yang paling rentan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dalam Pancasila serta semangat justice as fairness John Rawls.
Jika negara sungguh menjalankan asas keadilan sebagaimana diamanatkan UUD 1945, maka mereka yang paling lemah dan rentan harus menjadi prioritas utama. Para tenaga kesehatan di pelosok bukan hanya ujung tombak pelayanan kesehatan, tetapi juga representasi nyata bagaimana cita-cita keadilan sosial dijalankan.
Menghargai yang di Garis Depan
Musibah ini harus menjadi momentum evaluasi. Negara perlu memastikan tiga hal penting:
- Keselamatan kerja tenaga kesehatan dengan sarana transportasi yang layak, infrastruktur jalan yang diperhatikan, serta jaminan asuransi dan perlindungan kerja.
- Kesejahteraan yang adil melalui insentif memadai bagi tenaga kesehatan di daerah 3T, bukan sekadar janji yang sering kali tak sampai.
- Pembangunan yang inklusif, tidak lagi memusat di kota besar, tetapi merata hingga pulau-pulau kecil.
Kita harus berani jujur: selama ini negara lebih sibuk menjaga kenyamanan elite dibanding memastikan keselamatan para pejuang kesehatan di pelosok. Padahal, tanpa mereka, jutaan warga di daerah kepulauan akan semakin jauh dari hak dasar: sehat.
Penutup: Luka yang Harus Menyadarkan
Kisah tenaga kesehatan Puskesmas Lede bukan hanya cerita tentang sebuah mobil yang terguling di jalan tanjakan. Itu adalah potret tentang bagaimana perjuangan mulia sering kali tidak diiringi dengan perlindungan yang layak. Itu adalah simbol dari luka pembangunan yang belum merata.
Jika negara benar-benar hadir, maka para pejuang kesehatan di lapangan harus menjadi prioritas, bukan sekadar catatan kecil dalam laporan birokrasi. Semoga tragedi ini tidak sekadar menjadi berita singkat yang cepat terlupakan, tetapi menjadi alarm keras: bahwa keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945 harus diwujudkan, bukan hanya diucapkan. Mereka telah menunaikan pengabdian, kini giliran negara menunaikan janjinya.
Kisah tenaga kesehatan Puskesmas Lede bukan hanya cerita tentang sebuah mobil yang terguling di jalan tanjakan. Itu adalah potret bagaimana perjuangan mulia sering kali tidak diiringi dengan perlindungan yang layak. Itu adalah simbol dari luka pembangunan yang belum merata.
“Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, yang rela menukar kenyamanan dengan pengabdian, bahkan ketika keselamatannya tak dijamin negara.”