Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Kaya Alam, Miskin Nutrisi

badge-check


Foto: Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kabupaten Pulau Taliabu, Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH (kaos hitam). Perbesar

Foto: Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kabupaten Pulau Taliabu, Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH (kaos hitam).

(Potret Dua Tahun Lokus Stunting di Pulau Taliabu)

Oleh: Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH
Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kab. Pulau Taliabu

Pengantar: Masa Kecil dan Kenangan yang Tak Selalu Manis

Setiap dari kota pernah menjadi anak-anak. Masa kanak-kanak adalah fase kehidupan yang penuh warna, meski tak semua kenangan terekam jelas dalam ingatan. Ada yang indah, ada pula yang menyakitkan. Namun satu hal pasti: masa kecil adalah fondasi masa depan. Ketika fondasi itu rapuh karena kekurangan gizi, maka masa depan pun terancam runtuh.

Di Pulau Taliabu, masa kecil tidak selalu berarti riang dan sehat. Banyak anak tumbuh dengan tubuh yang pendek, wajah yang pucat, dan semangat yang perlahan memudar. Mereka bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada kehidupan anak-anak di pulau terpencil.

Paradoks Negeri Kaya

Indonesia adalah negeri yang diberkahi kekayaan alam melimpah—hutan, laut, tambang, dan tanah subur. Namun, di tengah limpahan sumber daya, anak-anak di pelosok negeri masih mengalami kelaparan, kekurangan gizi, bahkan kematian akibat krisis pangan dan kemiskinan.

Di Pulau Taliabu, potret ini hadir dalam wajah-wajah kecil yang kurus, tubuh pendek yang tak sesuai usia, dan harapan yang mulai memudar. Ironisnya, sejak dalam kandungan, anak-anak ini telah dibebani utang negara yang terus membengkak, sementara moral sebagian pemimpin bangsa terjebak dalam hipokrisi: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kita menyebutnya generasi yang hilang —Lost Generation— di tengah negara yang gagal memenuhi hak dasar warganya.

Dua Tahun Lokus Stunting: Apa yang Terjadi?

Pulau Taliabu telah menjadi lokus stunting selama dua tahun terakhir. Penetapan ini bukan tanpa alasan: prevalensi balita pendek di kabupaten ini tergolong tinggi dan menjadi prioritas nasional. Berdasarkan data SSGI:

  • 2021 → prevalensi stunting mencapai 35,2%
  • 2022 → menurun menjadi 23,7%
  • 2024 → stagnan di angka 24,9%

Penurunan signifikan di tahun pertama menunjukkan potensi intervensi yang berhasil, namun stagnasi di tahun berikutnya mengindikasikan perlunya evaluasi strategi dan pendekatan.

Secara nasional, prevalensi stunting Indonesia juga menurun dari 24,4% (2021) menjadi 21,6% (2022), dan akhirnya 19,8% di tahun 2024, lebih rendah dari proyeksi Bappenas yaitu 20%. Meski tren menurun, angka ini masih di atas standar WHO (Beberapa catatan penting) :

  • Intervensi gizi spesifik seperti pemberian PMT dan edukasi ibu hamil memang dilakukan, tetapi belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
  • Intervensi sensitif seperti sanitasi, air bersih, dan pendidikan masih tertinggal.
  • Koordinasi lintas sektor belum optimal, seringkali terjebak dalam formalitas tanpa dampak nyata di lapangan.
  • Keterlibatan masyarakat adat dan tokoh lokal belum dimaksimalkan sebagai kekuatan budaya yang bisa mempercepat perubahan perilaku.

Menggali Akar Masalah: Antara Sistem dan Budaya

Masalah stunting di Taliabu tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari akar sistemik yang telah lama mengabaikan pulau-pulau kecil dan komunitas adat. Ketika pembangunan lebih banyak berpusat di kota, desa-desa terpencil menjadi bayang-bayang dari janji kemajuan.

Namun akar lainnya juga bersifat kultural: pola makan yang monoton, tabu dalam kehamilan, dan kurangnya edukasi gizi yang relevan secara lokal. Pertanyaannya bukan hanya “apa yang kurang?”, tetapi “apa yang belum kita pahami?”

Kita perlu membaca ulang budaya makan, praktik pengasuhan, dan relasi sosial yang membentuk keseharian masyarakat. Di sinilah pentingnya pendekatan antropologis dalam intervensi kesehatan — bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi membangun dialog yang saling menghormati.

Potensi Lokal yang Terabaikan

Pulau Taliabu bukan hanya kaya secara alam, tetapi juga kaya secara sosial dan spiritual. Di balik hutan dan lautnya, tersimpan pengetahuan lokal tentang tanaman obat, ritual kesuburan, dan solidaritas antarwarga. Sayangnya, potensi ini belum sepenuhnya diintegrasikan dalam strategi penanggulangan stunting.

Program PMT lokal yang mulai digencarkan, dimana PMT tidak hanya berbasis produk pabrikan, tetapi juga memanfaatkan pangan lokal seperti ubi, kelor, ikan segar, dan pisang hutan. Akan tetapi selama akar masalahnya tidak diselessaikan maka program ini tidak akan pernah berhasil. Bayangkan jika edukasi gizi dilakukan oleh tokoh adat dalam bahasa dan simbol yang dipahami masyarakat. Maka intervensi bukan hanya menjadi program, tetapi menjadi gerakan sosial yang hidup dan bermakna.

Peran Pemuda dan Media Kreatif

Dalam dua tahun lokus stunting, satu elemen yang masih minim dilibatkan adalah pemuda. Padahal mereka adalah jembatan antara tradisi dan inovasi. Dengan kemampuan digital, literasi media, dan semangat perubahan, pemuda Taliabu bisa menjadi agen transformasi.

Media kreatif seperti video pendek dan narasi lokal bisa menjadi alat edukasi yang jauh lebih efektif daripada brosur formal. Cerita tentang anak yang tumbuh sehat karena makan ikan dan sayur lokal, atau kisah ibu yang berjuang melawan stigma kehamilan, bisa menyentuh hati dan mengubah perilaku lebih dalam daripada angka prevalensi.

Menuju Ekosistem Gizi yang Berkeadilan

Stunting bukan hanya soal tinggi badan, tapi soal keadilan. Anak-anak Taliabu berhak atas pangan yang cukup, air yang bersih, dan pendidikan yang bermutu. Maka solusi harus bersifat lintas sektor dan lintas nilai.

  • Kita butuh ekosistem gizi yang melibatkan petani, nelayan, guru, tokoh adat, pemuda, dan pemerintah.
  • Kita perlu kebijakan yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga berbasis cerita dan suara warga.
  • Kita harus membangun sistem yang tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga mencegah dan memberdayakan.

Refleksi dan Tantangan

Stunting bukan sekadar masalah kesehatan. Ia adalah cerminan ketimpangan sosial, kegagalan sistem pangan, dan lemahnya tata kelola pembangunan. Di Taliabu, tantangannya berlapis: geografis terpencil, akses informasi terbatas, dan budaya lokal yang belum sepenuhnya terintegrasi dalam pendekatan kesehatan.

Namun, di balik tantangan itu, ada harapan. Masyarakat Taliabu memiliki kearifan lokal, solidaritas sosial, dan semangat gotong royong yang bisa menjadi modal besar. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang menghormati budaya, melibatkan komunitas, dan membangun sistem yang berkelanjutan.

Penutup: Dari Pulau ke Pusat Perubahan

Jika stabilitas negara diukur dari gizi anak-anaknya, maka kita harus mulai dari desa, dari pulau-pulau kecil seperti Taliabu. Kita harus berhenti memuja angka dan mulai mendengar suara ibu-ibu di dusun, melihat piring kosong di rumah-rumah sederhana, dan merasakan kegelisahan kader kesehatan yang bekerja tanpa pamrih.

Kita tidak boleh membiarkan anak-anak tumbuh pendek secara fisik dan pendek dalam harapan. Mereka berhak atas masa depan yang sehat, cerdas, dan bermartabat.

Pulau Taliabu bisa menjadi contoh, bukan karena sempurna, tetapi karena berani memulai perubahan dari akar rumput.

“Karena perubahan besar selalu dimulai dari tempat yang paling sunyi. Dan anak-anak Taliabu, meski kecil tubuhnya, menyimpan harapan yang besar untuk negeri ini.”

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini