Oleh: Muhajrin Umasangadji
Jatuh cinta adalah sifat manusiawi. Cinta itu hal abstrak yang tidak bisa disentuh dengan materi, bahkan materi terlalu lemah untuk mendeskripsikan sebuah cinta. Percintaan antara dua insan itu nyata, karena di sana mereka saling memahami satu dengan yang lain, subjek mencintai subjek. Seketika cinta hanya dimiliki satu subjek, maka cinta itu hanyalah ilusi di balik cerita fiksi yang tidak memiliki arti.

Perasaan itu nyata, tapi ia juga abstrak. Ekstensi rasa itu ada ketika ada effort (upaya), effort untuk membangun cinta bukan hanya sekadar mimpi, tapi dalam bentuk kongkret. Bunga tidak bisa tumbuh tanpa matahari, ia butuh cahaya matahari untuk berfotosintesis. Begitu sebaliknya hubungan, ia saling membutuhkan. Apa jadinya hubungan harmonis jika hanya satu insan yang punya effort?
Erich Fromm mengatakan, cinta adalah sebuah seni yang perlu dipelajari, bukan hanya perasaan. Ia mengidentifikasi tipe-tipe cinta yang tidak sehat, seperti cinta pasar, tipe eksploitatif (memanfaatkan orang lain), tipe penimbun (menganggap cinta sebagai kepemilikan), dan tipe reseptif (pasif dan hanya menunggu dicintai).
Ketika seseorang menganggap bahwa cinta hanya milik sendiri, tanpa melihat pasangannya, maka itu adalah eksploitasi cinta. Ego cinta dalam diri seseorang muncul seperti sikap reseptif, maka itu adalah derita, sebab cinta bukan hanya milik satu subjek, ia harus dimiliki kedua subjek.
Kamu akan menemukan derita dalam cinta, dan romantis itu adalah hal yang lumrah. Di sana orang akan bucin sebucin-bucinnya, mereka akan tenggelam dalam lautan cinta. Tapi bahayanya, ketika mereka tidak memiliki satu instrumen pelindung diri saat terlalu larut dalam cinta itu, mereka akan tenggelam dan mati bersama kenangan.
Jika kamu tersadar akan derita cinta, itu adalah kesadaran murni dalam diri. Dan jika ia meminta untuk merakit kembali, maka jauhi, karena bisa jadi ia hanya ingin mengulang derita.
“Pandailah untuk memaknai cinta.”
Di balik derita itu, kamu harus mengambil hikmah, karena di sana kamu memahami makna cinta sejati, lahir dari dalam hati, dan air mata adalah manifestasi atas derita cinta itu. Seperti yang dikatakan Jalaluddin Rumi, “Air mata adalah bahasa hati yang tak terucap. Mereka mengalir ketika kata-kata tak mampu menjelaskan betapa dalamnya luka yang kurasakan.”
Bagi Rumi, air mata adalah derita yang nyata. Ia tak terucap dengan kata-kata, namun lahir dari hati yang luka. Alam pun murka jika mendengar luka ini, laut pun tak mampu membersihkan derita yang disebabkan oleh cinta. Wahai Rumi, air mataku telah kering, ia terlalu banyak keluar.
“Pelarian derita cintaku hanya pada tulisan, karena di sana aku merangkai kata-kata, dari luka, dan aku merdeka.”
Tidak apa-apa jika kamu terluka, karena kamu bisa tahu di mana letak keadilan cinta, bukan hanya wacana dingin yang kamu usahakan untuk menghangatkan, tapi rasa keadilan yang kamu usahakan. Jika kamu bisa melewati derita cinta, maka kamu orang hebat.
Buanglah semua kenangan itu, biarkan ia hanyut bersama luka, dan jangan pernah mengingatnya kembali. Sebab, jika kamu mengingatnya, maka kamu akan terluka kembali. Olehnya itu, hadapkan wajahmu ke depan tanpa menengok ke belakang. Jangan menyiksa dirimu dengan cinta palsunya, ada orang lebih indah menunggumu.
Bunga bukan hanya satu, ada seribu bunga di luar sana yang bisa kamu dapat. Yakinlah, setelah hujan pasti ada pelangi; sebaliknya, setelah luka, pasti ada cinta sejati.
Aku menyukai bunga mawar. Walaupun ia berduri dan seringkali menyakitiku dengan duri tajamnya, lambat laun aku mulai menyadari, semakin lama aku menggenggam bunga mawar itu, semakin aku terluka. Sehingga aku memutuskan untuk melepaskannya selama-lamanya, dan aku berhenti menyukai sang mawar tersebut. Semoga mawar itu bisa menemukan pemilik barunya.
Kepada kamu: buanglah setangkai bunga mawar itu, hanguskan semua bersama kenangan. Jika suatu saat engkau menemukan aku, anggaplah aku orang yang tidak pernah kamu kenal seumur hidupmu. Biarkan kita berdua seperti bayi yang tidak mengetahui apa-apa.
“Terluka bukan akhir dari cinta, ia akan kembali tumbuh dalam lembaran baru.”