Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Demokrasi Indonesia Rentan Kekacauan

badge-check


Foto: Muhajrin Umasangadji. (doc: istimewa) Perbesar

Foto: Muhajrin Umasangadji. (doc: istimewa)

Oleh: Muhajirin Umasangadji
(Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

NEGARA yang menganut sistem demokrasi pada umumnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan, keadilan, serta musyawarah. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem demokrasi, di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini diimplementasikan melalui berbagai mekanisme, seperti pemilihan umum, kebebasan berpendapat, dan partisipasi sosial dalam penyelenggaraan pemerintahan. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi Pancasila, yang mencerminkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, dengan adanya nilai-nilai Pancasila, apakah hal tersebut sudah menjamin kesejahteraan rakyat? Ataukah nilai-nilainya sudah ideal, tetapi praktiknya belum dijalankan secara maksimal? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menimbulkan kegelisahan dalam benak penulis. Jika kita melihat dari sudut pandang hukum, negara telah menjamin kebebasan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Hal ini tercantum dalam sila kelima Pancasila dan Pasal 28E UUD 1945 yang menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Lebih lanjut, UU No. 9 Tahun 1998 mengatur pelaksanaan kebebasan berpendapat di muka umum, termasuk demonstrasi. Jika undang-undang ini dikaji secara mendalam, maka demonstrasi adalah bentuk kebebasan yang sah yang diberikan negara kepada warganya.

Namun, kekerasan dalam demonstrasi sering kali menjadi permasalahan di Indonesia. Padahal, Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sayangnya, arogansi aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi masih sering terjadi. Arogansi ini terlihat dari tindakan sewenang-wenang terhadap para demonstran, seperti kasus pemukulan dan penangkapan mahasiswa di Surabaya. Bukan hanya mahasiswa yang menjadi korban, tetapi juga jurnalis, seperti kasus kekerasan terhadap wartawan di Kota Ternate, Maluku Utara. Bahkan, di Halmahera Timur terjadi penembakan oleh aparat yang menyebabkan tiga orang luka-luka, salah satunya luka berat. Jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), maka tindakan aparat tersebut jelas merupakan pelanggaran, sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 28A–28J UUD 1945. Undang-undang ini menjamin hak dasar individu serta mewajibkan negara melindungi dan menegakkan HAM.

Melihat berbagai kasus tersebut, demokrasi Indonesia tampaknya tidak jauh berbeda dari kritik Plato terhadap demokrasi. Menurut Plato, demokrasi adalah sistem yang rentan terhadap kekacauan, konflik, dan kepemimpinan populis yang tidak kompeten. Ia berpendapat bahwa demokrasi dapat menghasilkan sentimentalitas dan ketidakadilan, sehingga perlu diwaspadai.

Selain persoalan kebebasan berpendapat, demokrasi Indonesia juga seharusnya menjunjung tinggi nilai keadilan. Dalam perspektif sosial, keadilan berarti kesetaraan tanpa diskriminasi. Dalam perspektif hukum, kita dapat merujuk pada pemikiran John Locke dan A.V. Dicey tentang “equality before the law” atau kesetaraan di hadapan hukum. Artinya, setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum, tanpa adanya dominasi kelompok tertentu. Namun, kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia masih sering disalahgunakan oleh oknum aparat demi kepentingan pribadi atau kelompok. Hukum kerap dijadikan tameng oleh kelompok elite, seperti yang terlihat dalam kasus suap “3 Hakim Penerima Rp22,5 Miliar dalam Kasus Ekspor CPO” di Jakarta.

Dalam konteks keadilan, buruh juga harus mendapatkan perlakuan yang setara, bukan hanya pemilik modal. Buruh tidak seharusnya mengalami eksploitasi. Namun, harapan ini sering kali hanya menjadi angan-angan. Banyak buruh yang masih mengalami eksploitasi. Dalam pandangan Karl Marx, buruh dalam sistem kapitalis mengalami keterasingan karena mereka hanya diperlakukan sebagai alat produksi. Sistem ini membuat buruh kehilangan kendali atas hasil kerja mereka, dan nilai lebih yang mereka hasilkan dinikmati oleh pemilik modal.

Demokrasi di Indonesia memang menghadapi berbagai tantangan dan cenderung rentan terhadap kekacauan. Untuk menjaga dan memperkuat demokrasi, diperlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan media. Upaya yang perlu dilakukan meliputi penegakan keadilan hukum, pemberantasan korupsi, perlindungan terhadap hak-hak buruh dari eksploitasi, serta memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini