Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

CINTA DAN LUKA

badge-check


Foto: Fahri Aufat. (doc: Istimewa) Perbesar

Foto: Fahri Aufat. (doc: Istimewa)

Oleh: Fahri Aufat
Pegiat PILAS Institute

Katanya cinta itu indah. Tapi kenyataannya, cinta juga bisa menyakitkan. Aneh, ya? Seperti dua sisi koin, cinta dan luka sering datang bersamaan—saling melengkapi entah kenapa. Dan anehnya lagi, meski tahu bisa terluka, manusia tetap saja jatuh cinta.

Mungkin karena cinta membuat kita merasa hidup. Ada yang diperjuangkan, ada yang bikin jantung berdebar setiap kali notifikasi masuk. Namun, saat cinta tidak berjalan sesuai harapan, luka hadir—diam-diam tapi dalam. Rasanya seperti napas tertahan, senyum dipaksakan, dan malam terasa terlalu panjang.

Namun dari setiap luka, kita belajar. Belajar bahwa tidak semua orang yang kita sayangi akan tinggal. Belajar bahwa kadang kita perlu melepaskan demi tetap waras. Dan yang paling penting, kita belajar mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain.

Cinta itu bukanlah kesalahan. Yang keliru kadang cara kita menggenggamnya terlalu erat. Padahal cinta seharusnya ringan, seperti hujan pertama setelah kemarau panjang—datang membawa lega, bukan beban.

Jadi, jika kamu sedang terluka karena cinta, tenanglah. Itu bukan akhir cerita. Luka hari ini bisa jadi pintu menuju cinta yang lebih sehat besok. Pelan-pelan sembuh, ya. Karena cinta yang baik tidak akan pernah membuatmu merasa kurang.

Untuk itu, kita perlu mempelajari tentang cinta agar tidak terus-menerus terluka. Seperti yang diungkapkan Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving, cinta bukanlah sekadar perasaan atau insting alami, melainkan sebuah seni yang memerlukan pengetahuan, usaha, dan kedewasaan emosional. Fromm menulis:

“Cinta bukanlah sesuatu yang alami. Sebaliknya, ia membutuhkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, iman, serta kemampuan untuk mengatasi narsisme. Cinta bukanlah sekadar perasaan, melainkan sebuah latihan.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa cinta sejati hanya dapat terwujud melalui latihan dan pengembangan diri yang berkelanjutan. Luka dalam cinta sering muncul akibat ketidakmatangan dalam memahami dan mempraktikkan cinta itu sendiri. Fromm membedakan antara cinta dewasa dan cinta kekanak-kanakan. Ia mengatakan:

“Cinta yang belum dewasa berkata: Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu.
Cinta yang dewasa berkata: Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu.

Perbedaan sederhana ini menunjukkan bahwa cinta yang sehat berakar pada pemberian diri secara sukarela, bukan pada kebutuhan atau ketergantungan.

Lebih jauh, Fromm menekankan pentingnya mengatasi narsisme sebagai prasyarat untuk mencintai dengan tulus. Ia menjelaskan bahwa narsisme menghalangi seseorang untuk melihat orang lain secara objektif dan mengembangkan empati—hal yang esensial dalam hubungan yang sehat.

Dalam menghadapi luka panjang dalam hubungan, Fromm menegaskan bahwa penyembuhan dapat dicapai melalui pengembangan kapasitas untuk mencintai sebagai sebuah seni. Cinta adalah tindakan aktif yang melibatkan kesadaran diri, komitmen, dan tanggung jawab. Dengan begitu, luka bukanlah akhir dari segalanya, melainkan tantangan untuk tumbuh menuju kedewasaan emosional.

Luka dalam cinta juga sering terjadi karena kita belum cukup mengenal diri sendiri. Kita terlalu cepat memberikan segalanya tanpa memahami batas. Kita menaruh harapan besar, tapi lupa bahwa orang lain juga punya keterbatasan. Di titik ini, yang paling penting adalah jeda—berhenti sejenak, bukan untuk menyerah, melainkan untuk bernapas dan mengevaluasi. Luka tidak untuk dipendam, tetapi untuk dipahami. Perlahan, kita bisa belajar bahwa mencintai diri sendiri bukanlah egois, melainkan fondasi dari cinta yang sehat.

Jadi, kalau kamu sedang patah hati, tidak apa-apa. Rasa sakit itu valid. Tapi jangan berhenti di situ. Gunakan rasa sakit itu sebagai bahan belajar. Tanyakan pada diri sendiri: “Apa yang bisa aku pelajari dari hubungan ini?” Karena pada akhirnya, cinta yang matang tidak datang begitu saja. Ia lahir dari proses panjang—dari luka, dari kesadaran, dan dari keberanian untuk berubah.

Luka memang perih, tetapi juga bisa menjadi ruang untuk tumbuh, asal kita mau terbuka dan jujur pada diri sendiri. Seperti kata Rumi:

“Luka adalah tempat cahaya masuk ke dalam dirimu.”

Maka yakinlah, setelah luka, selalu ada ruang untuk cinta yang lebih sehat, lebih sadar, dan lebih membahagiakan.

*Penulis adalah Pegiat PILAS Institute

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini