Menu

Mode Gelap
Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink Polres Sula Bongkar Kasus Ayah Bejat Perkosa Anak Kandung

Opini

Bubarkan DPR: Alarm Bagi Demokrasi Indonesia

badge-check


Foto: Fahri Hamzah Aufat Perbesar

Foto: Fahri Hamzah Aufat

(Membaca Aksi Protes Melalui Ingatan Dalam Novel Laut Bercerita)

Oleh: Fahri Aufat
Pegiat PILAS Institute

GELOMBANG aksi dengan slogan “Bubarkan DPR” yang belakangan ini muncul di berbagai daerah tidak bisa dibaca sekadar sebagai ledakan emosional. Ia merupakan akumulasi kekecewaan publik terhadap lembaga legislatif yang dinilai gagal menjalankan mandat reformasi. Korupsi yang terus berulang, legislasi yang tertutup, serta kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan oligarki membuat jarak antara rakyat dan wakilnya kian menganga.

Dalam novel Laut Bercerita (Leila S. Chudori, 2017: 89) tertulis:

“Laut menyimpan banyak cerita, ia menelan tubuh, tetapi tak pernah bisa menelan suara.”

Kalimat ini terasa relevan dengan situasi hari ini. Kepercayaan rakyat pada institusi politik boleh jadi terkikis, tetapi suara mereka tidak bisa dibungkam. Seruan “Bubarkan DPR” adalah jalan lain bagi suara itu untuk menemukan ruang, meskipun kerap dianggap radikal atau utopis.

Novel tersebut menghadirkan kisah Biru Laut dan kawan-kawan, aktivis yang memilih melawan represi rezim meski penuh risiko, bahkan harus dibayar dengan nyawa. Kini, bentuk represi mungkin berbeda. Rakyat tidak lagi menghadapi penculikan atau penghilangan paksa, melainkan represi struktural: undang-undang yang dibuat tanpa partisipasi bermakna, kebijakan yang menyingkirkan kepentingan publik, serta korupsi yang merampas kesejahteraan.

Seruan “Bubarkan DPR” dalam konteks ini dapat dibaca sebagai simbol. Ia bukan sekadar ajakan literal untuk menghapus lembaga legislatif, melainkan representasi dari kekecewaan mendalam terhadap kegagalan wakil rakyat memenuhi harapan konstituen. Dalam Laut Bercerita (Chudori, 2017: 152) tertulis:

“Kami hanya ingin didengar. Kami hanya ingin suara kami tidak tenggelam.”

Hari ini, rakyat pun menuntut hal yang sama: didengar, diakui, dan diperjuangkan.

Partisipasi rakyat yang minim dalam proses legislasi menunjukkan bahwa demokrasi kita sering berhenti di bilik suara. Setelah pemilu usai, hubungan rakyat dan wakilnya renggang, bahkan terputus. DPR bekerja seolah-olah di ruang hampa, tanpa keterikatan pada konstituen yang memilihnya. Padahal, dalam demokrasi substantif, keterlibatan rakyat tidak boleh berhenti pada pencoblosan, melainkan harus dijaga dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Kritik terhadap DPR pada dasarnya adalah kritik terhadap sistem politik kita. Pemilu yang mahal menjadikan calon legislatif bergantung pada pemilik modal, sehingga setelah terpilih mereka lebih tunduk pada kepentingan kapital daripada rakyat. Situasi ini mengingatkan kita pada nasib para aktivis dalam novel Leila, yang berjuang melawan sistem menindas. Bedanya, represi kini hadir lebih halus, melalui kebijakan yang mengikat secara sistematis.

Selain itu, lemahnya mekanisme akuntabilitas membuat rakyat sulit menegur wakilnya. Saluran formal seperti reses atau forum dengar pendapat kerap hanya seremonial, bukan ruang yang sungguh-sungguh mendengar aspirasi. Inilah yang memicu lahirnya protes di jalanan. Aksi massa menjadi cara rakyat menagih perhatian, sebagaimana tokoh-tokoh dalam Laut Bercerita yang memilih turun ke jalan demi menyuarakan keadilan.

Negara seharusnya membaca gelombang protes ini sebagai tanda bahaya. Novel Laut Bercerita (Chudori, 2017: 220) menyelipkan kalimat penuh makna:

“Yang paling menyakitkan bukanlah kematian, tetapi dilupakan.”

Jika aspirasi rakyat terus diabaikan, DPR berisiko kehilangan legitimasi dan “dilupakan” rakyatnya sendiri, digantikan oleh gerakan alternatif yang tumbuh di luar sistem formal.

Dalam konteks global, gejala serupa juga terlihat di berbagai negara. Lembaga legislatif yang dianggap elitis dan terpisah dari rakyat memicu gelombang populisme dan krisis kepercayaan. Indonesia tidak kebal dari fenomena ini. Justru, jika DPR gagal melakukan reformasi mendasar, jurang ketidakpercayaan itu akan semakin lebar, membuka ruang bagi lahirnya ketidakstabilan politik.

Karena itu, seruan “Bubarkan DPR” sebaiknya tidak ditafsirkan semata sebagai ancaman, melainkan sebagai alarm bagi demokrasi Indonesia. Rakyat sedang menagih janji reformasi: parlemen yang bersih, transparan, dan benar-benar mewakili suara mereka. Tanpa reformasi struktural — mulai dari pembenahan sistem politik uang, penghapusan privilese anggota legislatif, hingga penguatan mekanisme akuntabilitas — teriakan itu akan terus menggema.

Pada akhirnya, Laut Bercerita memberi kita pelajaran penting: bahwa ingatan tidak boleh hilang. Luka masa lalu tentang represi, penghilangan paksa, dan suara yang dibungkam harus menjadi peringatan agar demokrasi hari ini tidak jatuh pada lubang yang sama. Teriakan “Bubarkan DPR” adalah bentuk ingatan kolektif yang menolak dilupakan, sebuah jeritan agar rakyat tidak lagi diperlakukan sebagai objek, melainkan subjek politik.

Akhirnya, Laut Bercerita (Chudori, 2017: 310) mengingatkan kita bahwa suara tidak akan pernah bisa dibungkam. Tubuh bisa hilang, tetapi suara selalu menemukan jalannya. Hari ini, suara itu bergema dalam teriakan “Bubarkan DPR.” Pertanyaannya: apakah negara akan mendengar alarm ini dan berbenah, atau justru kembali menutup telinga seperti masa lalu?

Sejarah telah memberi pelajaran: suara rakyat yang diabaikan tidak akan pernah benar-benar tenggelam. Ia akan selalu kembali ke permukaan — seperti laut yang terus bercerita.

*Penulis adalah Pegiat PILAS Institute

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini