Oleh: Ajae Din, Ketua Umum PMII Komisariat 45 UMMU Ternate
DALAM semangat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, alokasi dana desa seharusnya menjadi harapan bagi para nelayan kecil yang selama ini hidup di bawah bayang-bayang ketidakpastian. Namun, ketika niat baik dibelokkan oleh kepentingan sempit, bantuan yang mestinya menyejahterakan justru menjadi sumber ketimpangan.

Di Desa Silang, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), sebuah desa pesisir di wilayah Bacan Timur Selatan, pemerintah desa mengalokasikan sebagian besar dana desa untuk pengadaan empat unit perahu (katinting) lengkap dengan mesin. Tujuannya jelas: membantu nelayan kecil yang selama ini hanya mengandalkan perahu tua dan mendayung ke tengah laut.
Namun dalam proses distribusi, tiga dari empat perahu justru diberikan kepada orang-orang yang bukan nelayan aktif. Salah satunya adalah kakak ipar dari sekretaris desa yang sehari-hari bekerja sebagai penjual soto di luar desa. Dua lainnya adalah tokoh lokal yang dikenal dekat secara politik dengan perangkat desa.
Saat ditanya mengenai dasar pemberian bantuan, kepala desa dengan enteng beralasan, “Siapa yang datang meminta, itulah yang saya anggap lebih membutuhkan.” Logika yang sederhana, namun menyimpan bias besar—seolah keberanian meminta adalah ukuran utama kelayakan, bukan kondisi ekonomi atau profesi penerima.
Maka tak heran jika para nelayan sejati seperti Pak Dades, yang setiap hari melaut sejak subuh dengan perahu lapuk, tidak pernah mendapat bagian. Mereka tidak tahu-menahu, apalagi diundang dalam musyawarah desa yang menentukan siapa penerima bantuan.
Dampak dan Ketimpangan
Kejadian ini tidak hanya menimbulkan kecemburuan sosial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Bantuan yang seharusnya bersifat produktif justru berubah menjadi simbol ketidakadilan dan nepotisme. Nelayan yang benar-benar menggantungkan hidup pada laut justru terpinggirkan oleh mereka yang pandai “berkomunikasi” dengan kekuasaan.
Lebih jauh lagi, hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan kurangnya transparansi dalam penggunaan dana desa. Ketika pengelolaan dilakukan tanpa partisipasi aktif masyarakat dan tanpa asas keadilan, maka program sekecil apa pun bisa menjadi ladang penyimpangan.
K.H. Abdurrahman Wahid yang biasa dikenal dengan nama Gus Dur secara eksplisit mengatakan, “Keadilan tanpa kekuasaan adalah impian kosong. Kekuasaan tanpa keadilan adalah tirani.” Ketika kekuasaan desa tidak digunakan untuk menegakkan keadilan sosial, maka alokasi dana desa hanya menjadi alat untuk memperkuat kedekatan, bukan keperluan.
Begitu pula apa yang pernah disampaikan Soekarno, presiden pertama Indonesia, dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi (DBR). Bung Karno berpidato dengan nada tegas dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945:
“Negara Indonesia bukan milik satu golongan, bukan milik satu agama, bukan milik satu suku, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke.”
Jika bantuan hanya diberikan pada mereka yang dekat dengan lingkar kekuasaan, maka semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya tinggal slogan kosong di papan desa.
Nelson Mandela dalam bukunya The Illustrated Long Walk to Freedom (Jalan Panjang Menuju Kebebasan) menulis:
“Keadilan sejati tidak ditentukan oleh siapa yang paling keras bersuara, tapi oleh siapa yang paling membutuhkan.”
Menakar Keberpihakan
Pemberian perahu untuk nelayan bukan sekadar soal pengadaan barang, tetapi tentang keberpihakan dan integritas. Dana desa adalah milik bersama, dan harus dikelola demi kepentingan bersama—terutama bagi mereka yang paling membutuhkan.
Jika keberanian meminta menjadi satu-satunya tiket mendapatkan bantuan, maka mereka yang diam karena rasa malu atau tak punya akses akan terus tertinggal. Laut akan tetap luas, tapi keadilan akan terus menyempit di garis pantai—dan suara nelayan kecil, seperti debur ombaknya, akan terus diabaikan.
*Penulis adalah Ketua Umum PMII Komisariat 45 Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate