Oleh: Muhajrin Umasangadji
(Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)
KITA perlu melihat kembali sejarah. Era Orde Baru dikenal dengan kekejaman militerisme yang menekan, membungkam ruang kebebasan, dan merenggut banyak nyawa. Di masa itu, nyawa manusia seakan tidak berarti apa-apa. Bukti kekejaman Orde Baru bisa ditanyakan kepada rakyat Timor Leste, masyarakat Papua, dan mahasiswa Trisakti 1998. Nama-nama seperti Marsinah, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Wiji Thukul, Abdun Nasser, dan Dedi Hamdun adalah saksi bahwa nyawa di masa itu begitu murah. Dari mereka semua, kami menolak lupa.

Transisi kekuasaan terjadi saat gelombang demonstrasi besar-besaran tahun 1998 memaksa jatuhnya Orde Baru. Tahta kemudian diambil alih oleh wakilnya, yang memberikan kebebasan bagi Timor Timur untuk merdeka.
Beberapa tahun kemudian, muncullah seorang tokoh yang mampu membodohi dunia hanya dengan selembar kertas. Ia memanipulasi masyarakat global, termasuk Indonesia. Dengan wajah bersahaja, ia menyembunyikan niat yang licik. Dua kali menjabat sebagai Presiden Indonesia, namun dipenuhi kebohongan besar. Ia mengeksploitasi tanah Kalimantan atas nama kepentingan negara, memelihara korupsi, dan membiarkan kapitalisme menjalar ke pelosok negeri.
Setelah dua periode menjabat, Jokowi mencatat rekor sebagai salah satu presiden paling korup di dunia, merusak citra demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia. Pada 2014, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mencapai angka 34, setelah sebelumnya meningkat dari 17 pada tahun 2000.
Praktik meritokrasi yang diterapkannya hanyalah kedok. Setelah menang Pilpres 2019, 13 pendukungnya langsung diberi jabatan strategis di BUMN. Ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi hanya jargon semata. Ketika konflik militer dan masyarakat berakhir di awal Reformasi, kini Jokowi justru menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Kita tahu betul bagaimana tentara di masa Orde Baru mendominasi lembaga sipil. Sekarang, lembaga sipil kembali hendak diisi oleh militer. Proyek food estate diberikan kepada Kementerian Pertahanan, melegitimasi tentara untuk ikut berbisnis.
Kekuasaan otoriter makin meluas. Hukum berubah dari berpihak pada rakyat menjadi alat kapitalis dan kaum borjuis. Omnibus Law disahkan hanya dalam 100 hari pertama pemerintahan, mengejutkan publik dan memicu perlawanan rakyat. Aksi-aksi protes menelan korban di berbagai daerah, mulai dari Sumbawa, Jawa, hingga Maluku Utara.
Di tengah gejolak negeri, lahir kebijakan-kebijakan anti-demokrasi. Jabatan politik dibagi-bagi, rakyat yang menolak ditindas secara represif. Tahun 2015, 22 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum ditangkap karena aksi damai. Tahun 2019, LBH-YLBHI mencatat 6.128 warga sipil menjadi korban pelanggaran kebebasan berpendapat, yang seharusnya dijamin konstitusi.
Gerakan Papua dan Papua Barat yang menolak rasisme aparat dibalas dengan pengerahan 6.500 personel Brimob dan TNI. Sebanyak 1.013 orang ditangkap dan 61 orang tewas. Di penghujung masa jabatan, Jokowi bahkan menerapkan nepotisme: memaksakan putranya yang belum cukup umur menjadi wakil presiden. Ia juga membuat kebijakan tidak rasional dan melakukan political bribery dalam pembuatan undang-undang yang sarat kepentingan.
Kekuasaan pun berpindah ke tangan yang salah lagi. Anak Jokowi naik tahta sebagai wakil presiden, dan seorang pelaku pelanggaran HAM di Timor-Timur kini memimpin negeri ini. Sifat represif pun menular. Program-program tak jelas dicanangkan, anggaran pendidikan dipangkas, digantikan dengan program makan gratis tanpa makna, dan anggaran negara disalahgunakan.
Tidak asing bagi kita bahwa pada era Orde Baru, terjadi penculikan aktivis yang hingga kini belum diketahui keberadaannya. Salah satu pelaku keji itu kini memimpin negara ini dengan tenang. Sementara itu, Bung Karno, proklamator kita, ketika tidak sejalan dengan rezim Orde Baru, justru menjadi tahanan politik di masa pensiunnya. Ia sakit tanpa pelayanan kesehatan yang layak. Kini, kontras sekali dengan Jokowi yang mendapat Tabungan Hari Tua, dan Prabowo yang seharusnya diadili malah bebas memimpin negeri ini.
Kritik terhadap sistem pemerintahan sangat penting agar pemerintah menyadari apa yang dibutuhkan rakyat dan apa yang tidak. Jika seseorang bertanya padaku tentang kehidupan di era Reformasi saat ini, maka dengan lantang aku akan menjawab: lebih baik hidup di awal Reformasi daripada di era Reformasi sekarang yang penuh kebohongan dan sandiwara. Jika kebohongan itu berasal dari kepala, maka sayap, badan, hingga kaki pun akan ikut berbohong. Bila kebenaran belum terungkap, maka doronglah agar ia terungkap, karena membiarkan kebohongan adalah bentuk kejahatan.
Penegakan hukum di Indonesia masih lemah, baik dari sisi aparat maupun regulasinya. Jika hukum benar-benar adil, maka mereka yang bersalah sudah dijatuhi hukuman. Namun karena lemahnya hukum dan adanya abuse of power, mereka tetap bebas. Aku mau kebebasan tanpa kebohongan.
*Penulis adalah Mahasiswa Hukum, Universitas Muhammadyah Maluku Utara (UMMU) Ternate