Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

badge-check


Foto: Asrul Umarama. (doc: Karikatur) Perbesar

Foto: Asrul Umarama. (doc: Karikatur)

Oleh: Asrul Umarama
Pegiat PILAS Institute

Krisis ekonomi selalu menjadi momen yang membuka tirai tentang rapunya sistem sosial dan moral yang menopang kehidupan modern. Di balik angka inflasi, resasi, dan pengangguran, tersembunyi krisis nilai yang lebih dalam. Bagaimana manusia memaknai kerja, solidaritas, dan keadilan dalam tatanan ekonomi global. Maka, setiap krisis ekonomi sesunggunya bukan hanya soal kegagalan doktrin sosial yang melandasinya. Terus, bagaimana kita memandang manusia dalam relasi ekonomi.

Nilai pandang klasik sebagai mana di rumuskan Edgeworty dan Sidgwick bahwa; ia mengakui prioritas relatif dari prinsip dan hak dimana masyarakat bisa menggunakan kebijkan tanpa ada ketegasan dari pemerintah.

Pertanyaannya, apakah kerugian segelintir orang dapat mengganti lebih banyak keuntungan yang di nikmati oleh orang lain? Apakah bobot keadilan membutuhkan kebebasan semua orang, dan membiarkan ketimpangan sosial dan ekonomi untuk perubahan kebijakan bagi masyarakat.

Disatu pihak, kita berpikir tentang bagaimana masyarakat yang tertata dengan baik sebagai skema sosial, demi keuntungan timbal-balik yang di atur oleh prinsip-prinsip yang akan dipilih oleh orang-orang sekitar. Sementra,  masyarakat tidak mempergunakan ergumentasi pada saat di buat mati, karena mereka selalu ingin tahu cara untuk memainkan peran penting bagi keselamatan diri.

Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi merupakan fondasi, yang diatasnya ‘superstruktur’ menurut Karl Marx_menjelaskan bahwa; “Jika peran ahli borjuis melihat hubungan antar-benda atau pertukaran komoditi memerhatikan hubungan antar manusia. Pertukaran itulah menjadi, di antara para produser individual yang terjalin melalui pasar untuk dijadikan satu persoalan karena ekonomi sudah menjadi bahan permainan yang selalu diinginkan atau dimusnakan bagi bangsa kapitalis”. Sementara, para pekerja yang mencari upah untuk makan mereka selalu di intimidasi dengan permainan atau para pemilik pabrik. Seorang pekerja menggunakan sebagai waktu kerjanya untuk menutup biaya hidupnya dan keluarganya (mendapat upah).

Selain itu, ia mencurahkan sebagai besar perhatianya untuk mempelajari sistem ekonomi ini. Karya Marx yang prinsipal, yaitu Des Kapital, merupakan hasil studinya yang mendalam terhadap sistem ekonomi modern: Kapitalisme ekonomi politik yang klasik, sebelum Marx, berkembang di Inggris, (negeri Kapitalisme yang paling maju saat itu). Adam Smith dan David Ricardo, dengan infestigasi mereka terhadap sistem ekonomi, meletakan dasar-dasar dari teori nilai kerja. Marx melanjutkan karya mereka, ia menguji teori itu dengan mengembangkanya secara konsisten. Ia melihat bahwa setiap nilai komoditi di tentukan oleh kuantitas waktu kerja yang di haruskan secara sosial, yang di gunakan untuk memproduksi komoditi itu.

Marx selalu mebuat satuh doktrin tentang nilai lebih merupakan batu penjuru dari teori ekonomi yang dikemukakannya. Modal sebenarnya terbentuk dari hasil para pekerja, justru menghantam para pekerja, memorak-porandakan para pemilik modal kecil dan menciptakan barisan pengangguran. Dalam bidang industri, kemenangan industri berskala besar segera tampak, tetap gejala yang sama juga dapat dilihat pada bidang pertanian, dimana keunggulan pertanian bermodal besar semakin berkembang. Penggunaan mesin-mesin pertanian ditingkatkan, mengakibatkan ekonomi para petani kecil terjebak oleh modal-uang, kemudian jatuh dan hancur berantakan disebabkan teknik produksi yang kala bersaing. Karena, ekonomi menjadi salah satu pendapatan untuk suapan hanya menghidupkan dan tidak kelaparan.

Ketika Feodalisme tersingkir, dan masyarakat merdeka kapitalis muncul di dunia, maka muncul lah satu sistem untuk penindasan dan eksploitasi terhadap golongan pekerja. Berbagai doktrin sosial segera muncul sebagai refleksi dari protes terhadap penindasan ini. Sosialisme pada awalnya, bagaimanapun, merupakan sosialisme utopis. Karena  mengkritik, mengutuk, juga memimpin berharap keruntuhan kapitalisme ialah ‘ilusi’.

Nur Sayyid Santoso Kristive (2011; 148), dalam bukunya yang berjudul “Negara Revolusi Marxis dan Proletariat”. Melalui pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivitas alam secara berlebihan dan pengurusan alam semena-mena. Hal ini kita tahu, telah mengakibatkan krisis ekologi.

Dalam moderenisme ilmu-ilmu ‘positif-empiris’ mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini adalah, bahwa dari nilai-nilai moral dan relegius kehilangan wibawahnya. Alhasil timbul lah disorientasi moral-religius, yang pada giliranya mengakibatka pula meningkatkan kekerasan, keterasingan, depresi dan mental.

Dalam era modern yang di tandai oleh perubahan yang cepat terus berkembang, fleksibilitas tenaga kerja muncul sebagai konsep yang mengubah cara kita melihat pekerjaan dan interaksi antara karyawan dan organisasi. Moderenisme sebagai gerakan seni dan budaya yang muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20, gerakan ini menekankan pada inovasi, eksperimen, dan perubahan dalam berbagai bidan, seperti seni, sastra, dan arsitektur. Sementara disorientasi menekankan perasaan tidak yakin atau bingung tentang arah, waktu, atau situasi.

Marx Weber (1966; 112-113) juga menyatakan bahawa “tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial”, sepanjang aktor menganggap bahwa orang lain akan memperhitungkan tidakannya dan kontrolnya atas barang-barang. Secara kontrak, tindakan ekonomi merupakan tindakan sosial, jika dalam hubungannya dengan konsumsi aktor berkeinginan, dan masa depan orang lain diperhitingakan. Hal ini menjadi pertimbangan yang memengaruh tabungan aktor sendiri.

Menurut Weber perlu disadari, tidak ada ekonomi yang seratus persen didasarkan atas rasionalitas formal. Ekonomi selalu mengandung unsur-unsur rasionalitas subtantif (Swedberg, 1998: 37). Hal ini memperlihatkan bahwa tindakan ekonomi tidak terlepas dari konteks sosial yang ada. Weber juga menunjukan tindakan ekonomi juga dibatasi oleh berbagai macam regulasi, yang memungkinkan tindakan ekonomi bisa berjalan dengan baik. Regulasi tersebuat bisa datang dari negara (dalam hal ini pemerintah) maupun dari tradisi sosial atau budaya.

Kegiatan ekonomi tidak hanya terkait dengan intitusi sosial atau kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat,  tetapi kegiatan ekonomi hasil (aotcomes)-nya juga dipengaruhi relasi-relasi sosial dalam hubungan antara ekonomi dan sosial.

Sementara, masyarakat perlu di jaga karena semakin kedepan semakin banyak yang ingin menjadikan mereka sebagai budak tanpa jasa. Dengan hasil ekonomi mereka bisa membuat apa saja agar bisa menghabiskan suapan masyarakat dengan penekanan yang tidak positif, dalam hal masyarakat tidak punya rintangan untuk menjadikan satu ekonomi sebagai uang-suap keluarga. Dampaknya, ekonomi dapat bervariasi tergantung pada konteks dan situasi tertentu.

*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate.

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.

Biologi, Teologi, dan Emansipasi Perempuan

19 September 2025 - 12:44 WIT

Emansipasi perempuan
Trending di Opini