Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Menghina Butuh Literasi

badge-check


Foto: Surya Rauf. Perbesar

Foto: Surya Rauf.

Oleh: Surya Rauf
Ketua Umum BPL HMI Cabang Ternate

Negeri ini, barangkali, terlalu serius dalam hal remeh dan terlalu remeh dalam hal serius. Uang negara bisa lenyap triliunan tanpa suara, tapi unggahan TikTok anak SMA berjoget di zebra cross bisa bikin forum RT sampai DPR ikut berdiskusi. Luar biasa. Negeri ini memang tidak main-main dalam urusan main-main.

Di media sosial, seorang pengacara kondang sibuk menjelaskan bahwa korupsi bukanlah penyakit akut bagi kemajuan bangsa. Padahal, KPK telah berulang kali menyatakan bahwa korupsi menjadi salah satu faktor utama terhambatnya kemajuan Indonesia. Begitu kerdil cara berpikir seseorang ketika membela kliennya hanya demi ketenaran, tanpa memikirkan masa depan bangsa yang sedang kritis secara mental.

Saya tidak sedang bercanda, meski terdengar seperti lelucon. Ini fakta getir, semacam nyeplus lombok saat makan pangsit mie—tidak sengaja, tapi bisa bikin lidah ndower.

Mari bicara soal literasi. Kata yang kerap dipamerkan pejabat dalam seminar, tapi jarang dipakai dalam keputusan. Literasi konon penting agar masyarakat terbiasa berpikir. Tapi saya ragu, sebab banyak yang menganggap berpikir itu kegiatan terlarang. Kalau kebanyakan mikir, bisa-bisa dituduh subversif.

Aneh memang. Negara ini bangga dengan angka-angka statistik, tapi tak akrab dengan akal. Tiap tahun ribuan mahasiswa dikirim ke luar negeri, tapi ketika pulang, lebih sering disuruh diam atau sekadar jadi tukang pembenaran.

Yang menyedihkan bukan karena orang bodoh itu banyak—karena memang banyak—tetapi karena yang sedikit cerdas pun ikut-ikutan jadi bodoh agar tidak dianggap sombong. Maka terjadilah demokrasi berisik, di mana yang menang bukan argumen terbaik, melainkan suara paling keras dan akun paling banyak.

Menghina di negeri ini bukan lagi soal ekspresi atau kritik tajam. Ia sudah menjadi industri. Ada yang dibayar per tweet, ada pula yang rela dibayar dengan kupon pulsa. Ironisnya, meski hinaan bertebaran tiap hari, kualitasnya tetap buruk. Tidak ada peningkatan mutu. Seperti mie instan tanpa bumbu—pedas tapi hambar.

Bahkan untuk menghina pun kita tidak terdidik. Dulu, Bung Hatta bisa menyindir penjajah dengan bahasa halus namun menusuk. Kini, orang menyindir temannya dengan meme hasil crop sembarangan dan caption: “Lu goblok.” Jelas beda kelas.

Kita bangsa besar yang gagal menertawakan diri sendiri. Kalau ada lelucon soal pejabat, langsung dikejar UU ITE. Tapi kalau pejabat bilang, “Harga naik itu tanda ekonomi sehat,” tak ada yang tertawa—padahal lebih lucu daripada sitkom Lapor Pak!.

Saya rindu zaman ketika humor adalah cara berpikir, bukan sekadar pelarian. Ketika kritik dilontarkan lewat tulisan tajam, bukan adu mulut di kolom komentar. Ketika membaca buku bukan aktivitas langka, dan menulis opini tidak harus diawali dengan kalimat: “Mohon maaf sebelumnya…”

Republik ini tidak akan runtuh karena lawan politik, tetapi bisa goyah oleh banjir kebodohan yang dibiarkan mengalir tanpa bendungan akal sehat. Literasi bukan sekadar bisa membaca, tetapi soal kemampuan berpikir. Kalau hanya membaca, kambing pun bisa—asal tulisannya rumput.

Jadi, saran saya sederhana. Kalau tidak ingin berpikir, jangan hina orang. Dan kalau ingin menghina, belajarlah berpikir dulu. Hinaan yang baik itu seperti silet: tajam, tapi tidak sembarangan menggores. Kalau tak bisa begitu, lebih baik kembali ke metode lama—tutup mulut dan buka buku.

Saya sadar, tulisan ini mungkin tidak akan dibaca oleh mereka yang seharusnya membaca. Mereka sibuk membuat klarifikasi atas klarifikasi. Tapi tak apa. Menulis adalah bagian dari perlawanan. Setidaknya, kalau negeri ini tenggelam, kita bisa bilang pernah berteriak. Meski pelan, tapi tidak diam.

Dan pada akhirnya, saya hanya ingin bilang satu hal: negara ini butuh literasi. Sebab bahkan untuk menghina pun, kita belum terdidik.

*Penulis adalah Ketua Umum BPL HMI Cabang Ternate

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Biologi, Teologi, dan Emansipasi Perempuan

19 September 2025 - 12:44 WIT

Emansipasi perempuan
Trending di Opini