Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Biologi, Teologi, dan Emansipasi Perempuan

badge-check


Foto: Risma W. Umasangadji. (doc: istimewa) Perbesar

Foto: Risma W. Umasangadji. (doc: istimewa)

Oleh: Risma W. Umasangadji
Kader HMI Komisariat K.H. Ahmad Dahlan UMMU Ternate

Setiap kali mendengar kata perempuan, memori internal manusia akan memberikan dua gambaran. Pertama, dari sisi biologis, perempuan digambarkan hanya sebatas organisme makhluk hidup yang lemah. Kedua, dari sisi sosial, perempuan sering dipandang sebagai sosok penyayang, lembut, perasa, pendamping, pelayan, penggoda, pembawa petaka, dan makhluk submisif (terdominasi).

Secara teologis, perempuan diciptakan oleh Tuhan, berasal dari tulang rusuk laki-laki, dan diberi nama Hawa. Tujuan penciptaan Hawa sendiri adalah sebagai jawaban atas permintaan Adam untuk menemani perjalanannya kelak.

Penafsiran bahwa Hawa berasal dari tulang rusuk laki-laki kerap dipahami sebagai gambaran biologis bahwa perempuan adalah makhluk lemah, sebagaimana sifat dasar tulang rusuk itu sendiri. Selain itu, penafsiran bahwa Hawa diciptakan untuk mendampingi Adam sering kali dimaknai tidak lebih dari sekadar menjaga keberlanjutan manusia melalui proses reproduksi. Ketika perempuan disandarkan semata-mata sebagai objek reproduksi, secara langsung hal itu menegasikan perempuan sebagai subjek, dan menempatkannya hanya sebagai objek kebutuhan.

Namun, berdasarkan ulasan di atas, perempuan bukanlah sekadar makhluk yang lemah. Perempuan justru merupakan jawaban atas berbagai keberhasilan revolusi besar di dunia. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam buku Murtadha Muthahhari berjudul Filsafat Perempuan dalam Islam.

Perempuan memiliki potensi besar terhadap perkembangan peradaban, namun hal ini kurang mendapat tempat dalam kesadaran masyarakat Islam. Padahal, Islam justru menjunjung tinggi keberadaan perempuan. Islam mengangkat derajat dan hak asasi perempuan, sehingga membuka peluang besar bagi kerja sama kebudayaan tentang perempuan dan persoalannya, misalnya antara dua negara besar Islam: Indonesia dan Iran.

Sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 33, Allah sangat menghargai keberadaan perempuan yang memiliki kesempurnaan sama dengan laki-laki. Imam Khomeini bahkan menegaskan bagaimana dirinya bersinergi dengan perempuan Iran dalam membangun babak revolusi. Hal ini membuktikan bahwa perempuan adalah salah satu faktor penentu keberhasilan revolusi.

Pesan Imam Khomeini yang dikutip dalam buku Murtadha Muthahhari menekankan bahwa perempuan-perempuan di Indonesia harus mampu memahami potensi dirinya. Dalam diri perempuan terdapat energi positif yang mampu menciptakan gelombang besar ketika solidaritas mereka menyatu.

Sebagai calon ibu, perempuan seharusnya mampu mendidik anak-anaknya menjadi manusia produktif dan revolusioner. Seperti halnya perempuan Iran pada masa revolusi, perempuan Indonesia harus mengambil hikmah bahwa mereka memiliki peran kompleks dan detail dalam pembangunan bangsa.

Sudah saatnya perempuan memiliki jalan pikiran sendiri: bangkit, membangun, dan mendulang kekuatan menuju babak revolusi di Indonesia. Hal ini penting mengingat penindasan dan perbudakan terhadap perempuan masih merajalela.

Karena itu, perempuan harus bangkit dan melawan untuk menjadi ibu dan individu yang bermanfaat bagi negara serta anak-anaknya kelak. Pandangan yang menempatkan perempuan lebih lemah dibanding laki-laki dalam segala peran harus dilawan. Begitu juga dengan stigma yang membatasi peran perempuan hanya pada “sumur, kasur, dan dapur.”

Posisi perempuan tidak boleh lagi dipersempit. Perempuan seharusnya bebas berkiprah di segala bidang dan berkontribusi aktif membangun bangsa. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam mencari solusi terbaik atas permasalahan bangsa.

Hal ini penting mengingat selama ini gerakan perempuan cenderung absen dalam gerakan sosial. Rendahnya keterwakilan perempuan merupakan akibat kuatnya paradigma patriarki yang membatasi pergaulan sosial dan perjuangan politik perempuan.

Maka, persepsi publik bahwa perempuan adalah makhluk lemah harus diakhiri. Perempuan mampu memegang peran kepemimpinan, menjawab persoalan negara, dan memperjuangkan hak-haknya yang sering tereliminasi.

Terakhir, keahlian dan kepintaran perempuan bukanlah untuk menyaingi laki-laki, melainkan sebagai bentuk kesadaran atas peran dan tanggung jawabnya. Jika dalam negara yang kuat terdapat bangsa yang hebat, maka anak-anak cerdas hanya lahir dari perempuan yang berkualitas.

*Penulis adalah Kader HMI Komisariat K.H. Ahmad Dahlan UMMU Ternate

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini