Oleh: Giran Ridwan
Mahasiswa Teknik Ummu
Di kampus, tak semua yang bersuara lantang soal perjuangan rakyat benar-benar berada di pihak rakyat. Ada serigala berbulu domba yang berkeliaran, menyusup dalam organisasi mahasiswa, dan menempati kursi-kursi strategis. Mereka berbalut jargon perjuangan, tetapi diam-diam menjual idealisme untuk jabatan, akses kekuasaan, dan keuntungan pribadi.

Fenomena ini bukan barang baru. Soe Hok Gie sejak 1960-an sudah memperingatkan bahaya oportunisme mahasiswa: mereka yang lebih sibuk mencari kedekatan dengan penguasa ketimbang mengawal kepentingan rakyat. Pramoedya Ananta Toer juga menyinggung hal serupa dalam karya-karyanya—tentang kaum terpelajar yang justru menjadi alat kekuasaan ketika lupa pada amanat rakyat.
Sejarah pun mengulang diri. Tahun 1978, rezim Soeharto membubarkan Dewan Mahasiswa karena dianggap terlalu kritis, lalu membentuk KNPI untuk menjinakkan gerakan. Pasca Reformasi 1998, sebagian mahasiswa yang dahulu berteriak menumbangkan Soeharto justru masuk lingkaran kekuasaan. Ironinya, ada di antara mereka yang kini terseret kasus korupsi ketika sudah duduk di parlemen.
Hari ini kondisinya tak banyak berbeda, bahkan cenderung memburuk. Survei CSIS 2022 menunjukkan lebih dari 56% mahasiswa Indonesia lebih tertarik menjadi ASN atau politisi ketimbang menjadi aktivis sosial. Orientasi bergeser: dari membangun gerakan rakyat menjadi mencari posisi aman dalam struktur kekuasaan.
Di kampus, organisasi mahasiswa perlahan kehilangan independensi. Ada BEM yang menolak aksi solidaritas buruh hanya demi menjaga “nama baik kampus”. Ada pula fenomena “mahasiswa influencer politik”: dibayar untuk mengampanyekan tokoh tertentu di media sosial, menyebarkan propaganda yang menguntungkan elite.
Jabatan strategis di organisasi kampus yang seharusnya menjadi wadah perjuangan, berubah menjadi komoditas. Nama organisasi dijual demi akses kekuasaan. Akibatnya, gerakan mahasiswa melemah, kehilangan arah, dan menjauh dari kepentingan rakyat.
Inilah bahaya terbesar: hilangnya independensi mahasiswa. Padahal, kekuatan gerakan mahasiswa selalu terletak pada kemandirian dan daya kritisnya. Jika mahasiswa sudah berkompromi dengan penguasa, kampus hanya akan melahirkan kader-kader oportunis, bukan pemimpin rakyat.
Maka, waspadalah. Jangan terkecoh dengan retorika perjuangan mereka yang duduk di kursi strategis. Jika posisi itu hanyalah titipan kekuasaan, keberadaan mereka bukan untuk memperkuat gerakan, melainkan menghambat perlawanan.
Mahasiswa bukan alat kekuasaan. Jika ada yang menjual idealisme demi jabatan atau kedekatan dengan penguasa, maka ia sejatinya bukan pejuang, melainkan pengkhianat gerakan.
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate.