Oleh: Mohammad Ridha Bafagih, M.AP
Aktivis Pemuda Muhammadiyah
Kepulauan Sula, Maluku Utara, kembali tercoreng. Lembaga terhormat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diguncang isu memalukan yang merobek wajah demokrasi. Publik terhenyak oleh dugaan keterlibatan seorang oknum anggota DPRD, berinisial MLT alias Mardin, dalam kasus yang amat serius: dugaan pemerkosaan terhadap seorang perempuan.

Kasus ini bukan sekadar persoalan pribadi. Ini soal moralitas pejabat publik, kehormatan lembaga perwakilan rakyat, dan kepercayaan masyarakat yang selama ini diletakkan di pundak wakil-wakilnya. Suara rakyat yang diamanahkan melalui kotak suara seolah dikhianati oleh perilaku bejat yang, jika terbukti, sama sekali tak pantas dilakukan oleh seorang pejabat negara.
Dalam Undang-Undang MD3, jelas ditegaskan bahwa anggota DPRD wajib menjaga martabat, kehormatan, dan kredibilitas sebagai wakil rakyat. Namun, bila benar dugaan ini terbukti, maka tindakan tersebut bukan hanya menodai sumpah jabatan, tetapi juga menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal. DPRD yang seharusnya menjadi rumah aspirasi justru dinodai oleh oknum yang melanggar hukum dan merusak nilai-nilai etika.
Lebih jauh, KUHP Pasal 285 menegaskan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh di luar perkawinan, diancam pidana penjara berat.” Ini pesan jelas: tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk anggota dewan. Maka, tak ada alasan untuk melindungi pelaku bila terbukti bersalah.
Namun, ini bukan sekadar perkara hukum negara. Persoalan ini menohok jantung moralitas masyarakat. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan larangan mendekati zina dan segala bentuk perbuatan keji (QS. Al-Isra: 32). Rasulullah SAW bersabda: “Seorang mukmin sejati adalah yang tidak membahayakan orang lain dengan lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Pemerkosaan, jika benar terjadi, adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan, agama, dan nurani.
Masyarakat Kepulauan Sula merasa dikhianati. Kepercayaan yang diberikan melalui suara rakyat semestinya dijaga dengan kehormatan. Tapi kini, publik justru dihadapkan pada kenyataan pahit: seorang wakil rakyat diduga mencederai martabat perempuan dan melecehkan hukum.
Sebagai pengamat kebijakan publik sekaligus Aktivis Pemuda Muhammadiyah Sula, saya menegaskan: kasus ini harus ditindak tegas tanpa pandang bulu. Jangan biarkan DPRD menjadi simbol aib. Aparat penegak hukum, Badan Kehormatan DPRD, dan partai politik pengusung wajib bersatu menegakkan kebenaran.
Kita tidak boleh membiarkan kasus ini berlalu begitu saja. Jika benar dugaan itu terbukti, maka tidak ada jalan lain selain pemecatan dari keanggotaan DPRD, proses hukum pidana yang transparan, dan langkah konkret mengembalikan kepercayaan publik.
Karena pada akhirnya, ini bukan sekadar soal MLT atau DPRD. Ini soal marwah demokrasi, harga diri masyarakat, dan masa depan Kepulauan Sula. Diam berarti membiarkan luka ini menganga. Tegas berarti menyelamatkan martabat daerah dan menjaga kehormatan rakyat.
*Penulis Adalah Pengamat Kebijakan Publik Sekaligus Aktivis Pemuda Muhammadiyah