Menu

Mode Gelap
Kasus Laka Laut Sula Masuk Tahap Akhir, Berkas Dua Nakhoda Sudah di Kejaksaan Polres Kepulauan Sula Bagikan Bansos kepada Ojek Pangkalan Kapolsek Sulabesi Barat Ubah Cara Polisi Dekati Warga Ramah Tamah BPK di Ternate, Bupati Sula Serukan Sinergi Pengelolaan Keuangan Daerah Bupati Sula Panen Tomat Bersama Kelompok Tani Wai Balanda Buka Akses Digital, Bupati Sula Serahkan Bantuan Starlink

Opini

Membangun Sistem Kesehatan Inklusif: Belajar dari Program Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Wilayah Kepulauan (Pulau Taliabu)

badge-check


Foto: Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH. Perbesar

Foto: Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH.

Oleh: Syamsul Dani M. Saleh, SKM., M.Kes., C.PSH
Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kabupaten Pulau Taliabu

“Pemeriksaan gratis bukan hanya layanan medis. Ia adalah jembatan antara negara dan rakyat, antara kebijakan dan kemanusiaan.”

Pendahuluan

Kesehatan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan merupakan fondasi utama pembangunan manusia. Tanpa kesehatan yang baik, mustahil masyarakat dapat berkontribusi secara optimal dalam pembangunan ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Namun, di Indonesia, kesenjangan akses kesehatan masih menjadi masalah klasik, terutama antara wilayah perkotaan dan daerah kepulauan terpencil.

Pulau Taliabu, sebuah kabupaten di Provinsi Maluku Utara, adalah contoh nyata bagaimana keterisolasian geografis memperlebar jurang kesenjangan layanan kesehatan. Letaknya yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan rujukan membuat masyarakat di sana kerap menghadapi situasi darurat tanpa dukungan memadai.

Dalam konteks inilah, program pemeriksaan kesehatan gratis yang diadakan di Pulau Taliabu bukan hanya dipahami sebagai kegiatan sosial atau amal belaka, tetapi juga sebagai cermin kebutuhan akan sistem kesehatan inklusif yang menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Program tersebut menjadi momentum refleksi, sekaligus inspirasi untuk merancang model sistem kesehatan yang adil, berkelanjutan, dan sesuai dengan konteks kepulauan Indonesia.

Realitas Kesenjangan Akses Kesehatan di Pulau Taliabu

Keterbatasan infrastruktur adalah wajah nyata keseharian masyarakat Taliabu. Jalan darat masih belum memadai di banyak desa, akses laut pun sangat bergantung pada kondisi cuaca. Ketika angin kencang dan ombak tinggi, perahu kecil yang biasa digunakan masyarakat tak bisa beroperasi. Akibatnya, warga desa pesisir terisolasi dari layanan kesehatan formal.

Data Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa puskesmas hanya tersedia di tingkat kecamatan. Di luar itu, tenaga medis sangat terbatas. Sebagian desa bahkan tidak memiliki bidan tetap, sehingga persalinan masih sering ditangani oleh dukun kampung. Bagi kasus darurat, seperti komplikasi kehamilan atau serangan jantung, keterlambatan rujukan rumah sakit di sanana, luwuk (Sulawesi Tengah) atau kendari (Sulawesi Tenggara) sering terlambat dan berakibat fatal.

Realitas ini sejalan dengan konsep “health inequity” yang dijelaskan Whitehead (1992), yakni ketidakadilan kesehatan yang muncul bukan karena perbedaan kebutuhan medis, melainkan karena hambatan struktural seperti keterbatasan fasilitas, transportasi, dan distribusi tenaga medis. Dengan kata lain, masyarakat Taliabu sakit bukan karena tidak mau berobat, tetapi karena sistem belum mampu hadir menjangkau mereka.

Belajar dari Program Pemeriksaan Gratis di Taliabu

Program pemeriksaan kesehatan gratis yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan organisasi sosial dan lembaga keagamaan menjadi secercah harapan. Ketika tim medis datang dengan kapal motor ke desa-desa pesisir, masyarakat menyambutnya dengan penuh antusiasme.

Kisah nyata yang terjadi di Desa Gela dapat menjadi ilustrasi. Seorang ibu hamil akhirnya bisa memeriksakan kandungannya setelah sekian lama khawatir karena tidak mampu menyeberang ke Bobong, ibu kota kabupaten. Biaya transportasi seringkali menjadi alasan penundaan pemeriksaan kehamilan. Berkat program ini, ia mendapat kepastian bahwa kandungannya sehat, sekaligus pengetahuan baru tentang gizi ibu hamil.

Begitu pula dengan seorang nelayan lanjut usia. Setelah bertahun-tahun menganggap pusing sebagai “penyakit biasa,” pemeriksaan gratis membuatnya tahu bahwa dirinya menderita hipertensi. Dengan edukasi yang diberikan tim medis, ia mulai memahami pentingnya mengurangi konsumsi garam dan rokok.

Program ini tidak hanya bersifat kuratif (menyembuhkan yang sakit), tetapi juga edukatif dan preventif (mencegah yang sehat agar tidak jatuh sakit). Di sinilah relevansinya dengan pendekatan “Community-Oriented Primary Care” (COPC) yang diperkenalkan Abramson & Kark (1983). COPC menekankan pentingnya layanan kesehatan berbasis komunitas, di mana intervensi dilakukan sesuai kebutuhan dan budaya lokal.

Kerangka Teori untuk Inklusivitas Kesehatan

  1. Untuk memahami urgensi membangun sistem kesehatan inklusif di Taliabu, ada beberapa kerangka teori yang relevan:
    Equity in Health (Whitehead, 1992)
    Kesehatan harus diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan ditentukan oleh kemampuan ekonomi atau lokasi geografis. Artinya, masyarakat kepulauan harus mendapat prioritas justru karena akses mereka lebih sulit.
  2. Health System Building Blocks (WHO, 2007)
    WHO menyebut enam pilar sistem kesehatan, mulai dari layanan (Service Delivery), tenaga kesehatan (Health Workforce), sistem informasi, obat-obatan, pembiayaan, hingga kepemimpinan. Di Taliabu, pilar service delivery dan health workforce adalah kelemahan utama yang perlu segera diperkuat.
  3. Justice as Fairness (Rawls, 1971) Prinsip keadilan sosial menegaskan bahwa kelompok paling rentan harus menjadi prioritas dalam kebijakan publik. Dalam konteks Indonesia, masyarakat kepulauan seperti Taliabu adalah kelompok yang rentan dan layak ditempatkan di garis depan perhatian negara.

Tantangan di Taliabu

Meski program pemeriksaan gratis memberi dampak positif, masih banyak tantangan yang harus diatasi agar sistem kesehatan inklusif benar-benar terwujud:

  1. Keterbatasan tenaga medis. Dokter spesialis hampir tidak tersedia, bahkan jumlah bidan pun masih minim. Banyak tenaga kesehatan enggan ditempatkan di daerah terpencil karena fasilitas hidup terbatas.
  2. Ketersediaan alat kesehatan dan obat-obatan yang masih kurang bahkan kadang terjadi kekosongan obat di puskesmas.
  3. Transportasi kesehatan yang mahal. Biaya rujukan pasien ke rumah sakit di luar pulau menjadi beban besar, baik bagi keluarga maupun pemerintah daerah.
  4. Minimnya infrastruktur kesehatan. Sebagian besar desa tidak memiliki poskesdes dengan fasilitas memadai. Hal ini memperparah jarak layanan kesehatan formal dengan kebutuhan masyarakat.
  5. Sustainability program. Program kegiatan seringkali hanya berbasis proyek atau kegiatan seremonial, bukan program yang rutin dan berkelanjutan.

Rekomendasi Membangun Sistem Kesehatan Inklusif di Taliabu

Untuk menjawab tantangan di atas, diperlukan strategi inovatif sekaligus realistis:

  1. Telemedicine dan Mobile Health. Dengan bantuan internet satelit, dokter di kota besar bisa melakukan konsultasi jarak jauh dengan pasien di Taliabu. Inovasi ini terbukti berhasil di beberapa daerah kepulauan lain di Indonesia. Akan tetapi diperlukan perbaikan jaringan internet di setiap wilayah.
  2. Subsidi Transportasi Kesehatan. Pemerintah daerah dapat menyiapkan kapal khusus untuk rujukan pasien darurat atau memberikan subsidi BBM bagi masyarakat miskin.
  3. Kader Kesehatan Lokal. Pelatihan kader desa sangat penting untuk melakukan deteksi dini penyakit, membantu persalinan, hingga menjadi perpanjangan tangan tenaga medis.
  4. Kemitraan Multisektor. Pemerintah provinsi, NGO, dan sektor swasta seperti perusahaan tambang yang beroperasi di Taliabu dapat dilibatkan dalam pendanaan maupun penguatan program kesehatan.
  5. Penguatan Layanan Promotif-Preventif. Kampanye gizi, imunisasi, pemeriksaan rutin, serta edukasi gaya hidup sehat harus digalakkan agar masyarakat tidak hanya menunggu sakit untuk berobat. Akan tetapi perlu melihat dari segi sosial budaya masyarakat setempat, karena unsur kebudayaan sangatlah berpengaruh dalam keberhasilan suatu program di wilayah yang masih menjaga kearifan lokalnya.

Penutup

Pulau Taliabu menghadirkan gambaran nyata tantangan kesehatan di wilayah kepulauan Indonesia. Program pemeriksaan gratis telah menunjukkan bahwa intervensi sederhana dapat memberi dampak besar. Namun, keberhasilan jangka panjang hanya akan tercapai bila ada sistem kesehatan inklusif yang dibangun secara berkelanjutan, berbasis komunitas, dan berpihak pada keadilan sosial.

Masyarakat Taliabu tidak boleh lagi dipandang sebagai wilayah “pinggiran.” Justru sebaliknya, mereka harus ditempatkan sebagai prioritas, agar cita-cita Indonesia sehat dan berkeadilan benar-benar dapat diwujudkan.

*Penulis adalah Ketua Umum Perkumpulan PPKMI Cabang Kabupaten Pulau Taliabu

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

13 Oktober 2025 - 17:17 WIT

Korban Digitalisasi, Akankah Koran di Ternate Tinggal Sejarah?

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

10 Oktober 2025 - 19:18 WIT

Krisis Ekonomi dan Doktrin Sosial

Caffe dan Jejak Intelektual

10 Oktober 2025 - 15:27 WIT

caffe dan jejak intelektual

Musafir

8 Oktober 2025 - 20:37 WIT

Musafir

Menghina Butuh Literasi

20 September 2025 - 16:34 WIT

Menghina butuh literasi.
Trending di Opini