SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Example 420x400
Example 420x400
Opini

Orang Miskin Dilarang Sekolah

92
×

Orang Miskin Dilarang Sekolah

Sebarkan artikel ini
Orang miskin dilarang sekolah
Muhajrin Umasangadji

Oleh: Muhajirin Umasangadji
(Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara)

PENDIDIKAN seharusnya menjadi ujung tombak bagi kemajuan suatu bangsa, alat untuk memberdayakan generasi agar dapat mengasah keterampilan dan bakat mereka. Namun, ketika sistem pendidikan dibangun di atas fondasi yang timpang, masyarakat kelas bawah justru semakin terpinggirkan. Pemerintah, yang seharusnya hadir sebagai garda terdepan dalam menciptakan pendidikan yang adil, sering kali gagal mewujudkan visi tersebut. Padahal, konstitusi kita secara jelas menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Ironisnya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa akses pendidikan layak masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar masyarakat miskin.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Example 320x200

Kebijakan pendidikan yang ada cenderung lebih berpihak pada mereka yang mampu secara finansial. Kenaikan biaya pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi semakin memperlebar jurang kesenjangan. Dalam situasi ekonomi politik yang karut-marut, pendidikan bahkan dipolitisasi oleh oligarki, menjadikannya lahan industri alih-alih ruang pengembangan diri. Lembaga pendidikan yang seharusnya berfungsi sebagai tempat membangun peradaban kini lebih menyerupai pasar, di mana keuntungan materi menjadi prioritas utama.

Dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas, Paulo Freire menggambarkan bagaimana sistem pendidikan formal yang disebutnya sebagai “pendidikan gaya bank” mengondisikan peserta didik hanya sebagai objek penerima pengetahuan. Guru ditempatkan sebagai penguasa mutlak, sementara murid hanyalah tabungan yang terus diisi tanpa memiliki ruang untuk berpikir kritis. Sistem seperti inilah yang semakin melanggengkan ketidakadilan, karena alih-alih membebaskan, sekolah justru memperkuat dominasi mereka yang berkuasa.

Mahalnya biaya pendidikan telah lama menjadi sorotan para filsuf dan pemerhati pendidikan. Lias Hasibuan dan Kasful Anwar Us menekankan bahwa pendidikan adalah hak asasi manusia, bukan komoditas yang harus diperjualbelikan. Al-Jubai dan Nurhadi bahkan mengkritik keras praktik komersialisasi pendidikan yang menciptakan diskriminasi dan memperparah kesenjangan sosial. Jangan lupakan pandangan Marx yang melihat pendidikan terkapitalisasi sebagai alat untuk mereproduksi ketidakadilan, menciptakan individu-individu patuh yang melanggengkan sistem tanpa mempertanyakan struktur kekuasaan yang ada.

Realitas ini semakin kentara ketika melihat kondisi anak-anak di pelosok negeri yang masih jauh dari akses pendidikan layak. Pemerintah seolah menutup mata terhadap nasib mereka, mengabaikan tugas utamanya untuk mencerdaskan seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang ekonomi. Aristoteles pernah menekankan pentingnya pendidikan yang komprehensif untuk mempersiapkan individu hidup dengan baik dan berkontribusi bagi masyarakat. Namun kini, pendidikan bagi masyarakat miskin justru berubah menjadi mimpi yang sulit digapai.

Bayang-bayang mahalnya biaya pendidikan layaknya hantu di tengah malam, terus menghantui generasi yang ingin memperbaiki nasib. Mereka seolah-olah dilarang bersekolah, bukan karena kurangnya semangat, melainkan karena biaya yang mencekik serta sistem yang mencabut mimpi mereka untuk menjadi insan intelektual. “Gantungkanlah cita-cita setinggi langit,” kata Soekarno. Namun, di tengah sistem yang semakin kapitalistik, mimpi-mimpi itu kini seakan sengaja dibunuh.

Apakah adil jika pendidikan, yang seharusnya menjadi hak seluruh lapisan masyarakat, justru menjadi ajang eksklusif bagi mereka yang mampu?

*Penulis adalah Mahasiswa Hukum, Universitas Muhammadyah Maluku Utara (UMMU) Ternate

Example 400x100
Example 400x100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *